Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiwah, Rukun Kematian Penuh Kebahagiaan

Kompas.com - 21/06/2016, 14:20 WIB

SEBANYAK 77 liau atau kerangka jenazah diambil dari kuburnya, dibersihkan, lalu dibaringkan di peti mati. Tulang-tulang tersebut merupakan milik nenek moyang dari 46 keluarga yang berasal dari beberapa desa di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Rabu (1/6/2016).

Lingga (33) duduk bersila di ruang tengah huma betang, rumah adat Dayak. Matanya terpejam mendengar tujuh basir (pemimpin ritual adat Dayak) menyanyi sambil menabuh katambung, gendang khas Dayak). Nyanyian dinyanyikan dalam bahasa Sangiang atau bahasa roh, bertujuan untuk mengiringi para liau haring atau roh ke surga.

”Ini kesempatan langka. Upacara adat seperti ini sudah jarang dibuat,” kata laki-laki asal Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Katingan, itu.

Ruang tengah itu penuh dengan sesajen, mulai dari beras, daging ayam kering, hingga bulu-bulu burung yang ditancapkan di sana-sini. Tepat di depan para basir duduk, puluhan sesembahan berupa sabun, odol, sikat gigi, beras, daging, dan macam-macam lagi yang dipercaya sebagai bekal dalam perjalanan ke surga.

Upacara tiwah merupakan rukun kematian tingkat akhir suku Dayak Ngaju pada umumnya. Tujuannya mengantar roh menuju tempat asal bersama Sang Pencipta, sebagian besar masyarakat suku Dayak menyebutnya surga (lewu tatau).

Sebagian besar ritual dilaksanakan di dua tempat, yakni di huma betang milik keluarga besar Syaer Sua di Tumbang Manggu dan di lapangan sekitar rumah itu. Di lapangan, terdapat sangkai raya, tempat menyimpan anjung-anjung (bendera kain) dan persembahan untuk Ranying Hatala atau Sang Pencipta.

Sangkai raya dikelilingi 18 sapundu, patung yang diukir berbentuk manusia untuk mengikat hewan kurban, seperti sapi dan kerbau. Sapundu dibuat dari kayu ulin asli atau yang dikenal dengan kayu besi, proses mengukir, mengantar, dan memasang sapundu pun dilalui dengan sejumlah ritual adat.

Salah satu basir, Marisa (60), mengatakan, upacara tiwah dilaksanakan dua bulan lebih sejak 11 April hingga 15 Juni, yang diisi begitu banyak ritual adat. Namun, ada tiga ritual puncak dalam tiwah, yakni ritual Manyambut Laluhan, Tabuh I, dan Tabuh II.

”Tidak hanya diikuti keluarga dari jenazah, upacara ini diikuti semua warga di kabupaten,” kata Marisa.

Manjamput laluhan merupakan proses menjemput tamu atau para keluarga dari kerangka jenazah yang akan ditiwah. Pada proses itu, tamu dijemput di pagar dan tuan rumah menyambutnya dengan minuman sambil melemparkan beras.

Mereka berbagi minuman dan saling mengoleskan bedak dan kapur di wajah, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah itu, baik tamu maupun tuan rumah menari dan bernyanyi bersama sambil mengelilingi sangkai raya dan sapundu.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Upacara rukun kematian tingkat akhir, tiwah, di Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Kamis (2/6/2016).
Saat menari, para perempuan menggunakan selendang bercorak Dayak, sedangkan para laki- laki mengikatkan mandau (parang khas Dayak) di pinggang mereka. Semuanya menggunakan ikat kepala merah di kepala.

Pada ritual tabuh satu dan tabuh dua, hewan kurban yang diikat di sapundu ditusuk menggunakan tombak oleh para keluarga dari masing-masing pemilik kerangka jenazah. Hewan ditombak sampai jatuh tersungkur ke tanah dan mati.

”Beberapa orang melemparkan butiran beras ke hewan kurban sebagai bentuk doa agar kurban diterima pencipta,” ungkap Marisa.

Begitu hewan-hewan kurban berjatuhan dan mati, beberapa orang dengan parang memotong kepala hewan-hewan itu. Penggalan kepala lalu dikumpulkan menjadi satu di sangkai raya sebagai makanan para roh.

”Daging dari hewan-hewan itu dimasak dan dibagikan kepada semua orang, ada yang membawa ke rumah, ada pula yang langsung memakannya di huma betang,” kata Marisa.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Upacara rukun kematian tingkat akhir, tiwah, di Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Kamis (2/6/2016).
Anak-anak, orangtua, pemuda-pemudi dari berbagai latar belakang agama berbeda menari sambil bernyanyi dengan penuh riang gembira setelah ritual pengurbanan selesai sampai malam menjemput. Mereka merayakan kenaikan roh keluarga mereka ke lehu tatau.

”Ini sangat berarti bagi kami orang Dayak karena seperti melunasi utang, tiwah itu wajib harus dilaksanakan. Kami begitu bahagia karena kami percaya roh mereka sudah bersama Sang Pencipta,” ujar Kristino Sumedi (22), warga Kota Palangkaraya.

Wisata adat

Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Katingan, Mido mengatakan, kekayaan budaya, adat, dan istiadat di Kalteng merupakan potensi wisata yang luar biasa. Upacara tiwah selalu menjadi langganan para turis, baik lokal maupun asing.

”Mereka datang dari negara asal mereka untuk melihat upacara ini. Beberapa kali kami mendapatkan e-mail dari luar negeri yang menanyakan jadwal tiwah,” kata Mido.

Pemkab Katingan memang sengaja membuat upacara ini untuk menarik para turis. Tidak main-main, mereka merogoh kocek Rp 750 juta untuk mengadakan upacara kematian itu. Anggaran digunakan untuk membeli hewan kurban dan berbagai perlengkapan lainnya.

”Selain untuk wisata, ini adalah bentuk partisipasi pemerintah dalam menjaga kebudayaan asli daerah,” kata Wakil Bupati Katingan, Sakariyas, yang saat itu bersama-sama masyarakat menari dan menyanyi dalam upacara.

Sakariyas menambahkan, dengan adanya upacara tiwah, pemerintah berharap pemuda Dayak lebih mengenal identitas asli. ”Hanya di tangan para pemudalah kebudayaan asli Dayak tetap dijaga,” ujarnya.

Mulai ditinggalkan

Pemrakarsa Komunitas Folks of Dayak, komunitas pemuda Dayak yang mencari berbagai sumber untuk mencari sejarah dan jejak suku Dayak di Indonesia, Cakra Wirawan, mengatakan, upacara tiwah dahulu kala hanya dilakukan oleh orang Kaharingan. Seiring berjalannya waktu, orang dengan agama lain pun bisa melaksanakan upacara itu.

”Masalahnya bukan soal kepercayaan atau latar belakang agamanya, tetapi pemuda Dayak saat ini belum sepenuhnya mengenal identitas Dayak itu seperti apa,” ucap Cakra.

Menurut Cakra, masih banyak pemuda Dayak yang belum memahami ritual adat suku Dayak. Kaharingan sebagai kepercayaan asli suku Dayak sudah mulai ditinggalkan.

”Kalaupun tidak lagi Kaharingan, bukan berarti harus meninggalkan kebudayaan, adat, dan istiadat suku Dayak,” ujar Cakra. (Dionisius Reynaldo Triwibowo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com