Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sarapan Kopi Mentega ala “Tahun 70-an” di Singapura

Kompas.com - 17/07/2016, 09:06 WIB
Yoga Hastyadi Widiartanto

Penulis

SINGAPURA, KOMPAS.com - Singapura ternyata tak cuma menawarkan tempat ngopi modern yang terletak di pusat perbelanjaan mewah sekitar Orchard Road. Masih ada tempat ngopi yang klasik, bernuansa ala tahun 1970-an dan rutin dikunjungi orang-orang tua yang saling berbincang dalam Bahasa Mandarin.

Nama tempat ngopi yang saya maksud adalah Heap Seng Leong. Ini merupakan kopitiam klasik yang sudah berdiri di salah satu sudut pusat makanan dan buah North Bridge Rd, Singapura, sejak 41 tahun lalu. Bentuknya tetap saja seperti masa lalu, tak ada hal yang bisa dibandingkan dengan kedai modern lain di sana.

Bahkan bisa dikatakan ini merupakan salah satu artefak kopitiam tradisional yang masih tersisa di Singapura. Sedangkan di berbagai sudut Negeri Singa ini, rata-rata kedai kopi memakai mesin espresso, koleksi alat-alat manual brew, menyediakan internet, dan AC untuk kenyamanan.

Begitu melihat Heap Seng Leong, singkat kata, Anda akan ragu bahwa mereka memiliki menu kopi yang enak. Bisa jadi, bila ini kunjungan pertama, Anda malah ragu sedang berada di sebuah kedai kopi.

Di Heap Seng Leong tak ada hembusan AC yang dingin atau desain ruangan berkonsep industrial. Cuma meja kayu bulat, kursi kayu atau plastik, pintu yang terbuka lebar dan kipas angin dengan suara berderit yang bergelantungan di plafon. Jangan pula berharap ada koneksi internet. Di kedai ini orang-orang saling mengobrol, bukan memainkan gadget.

Yoga Hastyadi Widiartanto/KOMPAS.com Kopi di Heap Seng Leong dibuat dengan cara menyaringmemakai kain khusus, sehingga bisa dinikmati tanpa ampas.

Pemilik sekaligus penjaga Heap Seng Leong adalah seorang kakek tua dan anaknya. Mereka tak banyak bicara. Bahkan hanya menjawab sepatah-patah kata saja saat ditanya.

Sang kakek, yang tampaknya sudah berusia lebih dari 70 tahun, mengenakan sebuah celana pajama bermotif garis biru dan kaos singlet warna putih. Tak ada celemek, kaus, penutup kepala, atau atasan lain khas seorang barista di coffee shop franchise.

Saat berkunjung ke sana, saya sempat merasa kikuk dan bingung. Semua mata memandang saya yang nyelonong masuk dan mendekat ke sudut berisi rak dan meja untuk membuat kopi.

Excuse me. Do you have coffee? I mean kopi Gu You or butter coffee.(Permisi. Apakah Anda punya kopi? Maksud saya kopi Gu You atau kopi mentaga),” ucap saya dengan bahasa yang terpatah-patah.

Beberapa detik hening. Beberapa orang tua yang tampaknya seperti pelanggan rutin, masih melirik ke arah saya. Pria berkaus biru yang sedang memegang gelas, di sudut tempat pembuatan kopi itu, bertanya balik.

Yoga Hastyadi Widiartanto/KOMPAS.com Suasana kopitiam Heap Seng Leong saat saya berkunjung ke sana, Rabu (29/6/2016)

Coffee (Kopi)?” ujarnya dengan wajah bingung.

Entah dia mengerti kata-kata saya atau tidak, saya mungkin terlihat seperti antitesis mayoritas pengunjung di kopitiam itu. Saya adalah pria muda mengenakan kemeja hitam yang rapi baru disetrika, menenteng kamera, rambut panjang digerai. Sedangkan pengunjung lainnya rata-rata kakek-kakek usia 60 tahun, berkaus oblong atau polo shirt.

Yeah, I mean butter coffee. You have it, right? (Ya, maksud saya kopi mentega. Anda punya, kan?)” lanjut saya.

Dia pun mengangguk dan menjawab, “Yeah, butter coffee. One or two? Bread? Toasted bread? (Ya, kopi mentega. Satu atau dua? Roti? Roti panggang?)”.

Oke. Komunikasi kami sudah terjalin. Setelah kikuk selama beberapa detik itu, akhirnya kami saling memahami dan dia mulai membuat pesanan saya tanpa bicara sepatah kata pun. Segelas butter coffee dan dua piring roti panggang.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com