Dia menari mengitari lingkaran, melawan arah jarum jam. Ritmis. Dua penari lain dan seorang perempuan tua membayangi langkahnya, menjaganya. Beberapa putaran, Fadiyah berhenti menari, lalu duduk.
Saat itulah tungku kemenyan di putar-putar di atas kepalanya. Terdengar lagi suara sinden yang cempreng tetapi magis, musik bersahutan, dan Fadiyah pun kembali menari. Begitu terus hingga matahari terbenam.
Di tengah tarian, dia melempar sampur. Penonton yang mendapat selendangnya ikut menari atau sekali waktu dia menawarkan bunga yang sudah didoakan. Penonton berebut menukarnya dengan uang. Puncaknya ketika Fadiyah jatuh ke tanah dan bokor diedarkan untuk saweran para penonton sebagai wujud pengorbanan.
Nyaris tiga jam Fadiyah menari, kaus kaki putihnya berubah menjadi coklat oleh tanah lapangan. Selama tujuh hari berturut-turut dia akan menunaikan tugas adat itu.
Upacara
Menurut Aekanu Hariyono, Kepala Seksi Adat dan Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, seblang termasuk fungsi tarian upacara karena berunsur mistis atau magis dan biasa dilakukan masyarakat agraris yang berpengaruh alam sekitar.
Seblang erat hubungannya dengan kepercayaan masyarakat tentang roh leluhur. ”Roh-roh leluhur diundang hadir di tengah masyarakat yang memakai raga yang telah dikosongkan jiwanya melalui media mantra-mantra, syair-syair lagu yang dilantunkan untuk mengiringi gerak seblang,” ujar Aekanu yang bertahun-tahun mendokumentasikan seblang.