WAKTU membeku di Guyangan. Hingga pukul 12.15, suasana di luar pondok penginapan masih saja redup, seredup pagi hari. Hawa dingin dan berkabut, seperti siang tak berani datang. Seakan sinar mentari tak mampu menembus bekunya pagi di Pegunungan Tengger.
Guyangan adalah nama daerah tempat pondok penginapan kami. Rumah sederhana milik Pak Muliyat (81), warga Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, ini berada di tengah hamparan sawah yang ditanami daun bawang. Tidak jauh di belakang rumah terlihat Gunung Bromo bersanding dengan Gunung Batok, begitu mesranya.
Meski dibekap dingin tak berkesudahan, kehangatan persahabatan dari Pak Muliyat mampu menghangatkan jiwa yang rasanya turut membeku. Semalaman dan dilanjut pagi hari, kami mendengarkan penuturannya mengenai Bromo dan Tengger.
Kedatangan kami pada pertengahan Juni lalu tidak dianggap sebagai wisatawan yang dengan mudah dikuras uangnya. Sejak awal, Pak Muliyat menerima kami dengan tangan terbuka di pondoknya yang hanya memiliki dua kamar untuk tamu itu. Ia hanya mematok Rp 50.000 per orang per malam.
Untuk makan, Pak Muliyat memanggil Bu Yuli, juru masak asal Lumbang, Probolinggo. Tarif makan disesuaikan dengan menu yang dipilih, mi instan atau kentang rebus dan tumis sawi yang dipetik dari sawah.
Karena kami datang pada bulan Ramadhan, Bu Yuli menyajikan makanan pada saat sahur dan buka puasa. Ia juga melayani permintaan makan bagi tamu yang tidak berpuasa.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.