Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kota Palembang, Mengelola Jejak Sejarah di Sungai Musi

Kompas.com - 12/08/2016, 17:32 WIB

SUNGAI Musi merupakan urat nadi kehidupan Kota Palembang, Sumatera Selatan. Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, aktivitas warga Palembang tidak pernah lepas dari sungai itu. Tak heran jika jejak sejarah Palembang banyak ditemukan di sepanjang sungai ini. Ini menjadi modal Pemerintah Kota Palembang mengembangkan wisata sungai.

Yuni Parnawati (47), wisatawan asal Salatiga, Jawa Tengah, antusias mengarungi Sungai Musi, akhir Juli lalu. Ia menyewa perahu ketek dengan harga Rp 150.000 untuk menuju Pulau Kemaro, delta kecil di Sungai Musi.

Pulau Kemaro merupakan tempat wisata religi, terutama untuk penganut Khonghucu dan Buddha. Selain terdapat klenteng dan pagoda, di sana juga terdapat makam Siti Fatimah, putri Kerajaan Sriwijaya.

Sepanjang perjalanan selama 30 menit, Yuni tak henti mengabadikan kegiatan warga yang tengah mandi dan mencari ikan di sungai. Rumah rakit dan rumah panggung serta perkampungan etnis yang berjejer di pinggiran sungai menemani perjalanannya.

Gelombang Sungai Musi akibat kapal cepat yang melintas menggoyahkan perahu yang ditumpangi Yuni. Tangannya pun menggenggam erat pinggiran perahu yang terbuat dari kayu meranti itu.

Mengarungi Sungai Musi seakan menapak tilas kehidupan masa lalu. Sungai sepanjang 720 kilometer dengan lebar 300 meter hingga 2,1 kilometer ini menorehkan sejarah panjang mulai dari kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Palembang Darussalam, hingga masa kolonial Belanda. Sejumlah benda peninggalan ditemukan dari tepian di hulu hingga hilir sungai.

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumsel Farida R Wargadalem mengatakan, Sungai Musi menjadi sungai yang sangat strategis dari zaman ke zaman.

Banyaknya kampung etnis yang tersebar di tepi sungai menandakan maraknya pendatang yang berdagang menggunakan jalur Sungai Musi. Ada Kampung Kapitan yang merupakan jejak peradaban Tionghoa di Palembang dan ada juga Kampung Arab 13 Ulu.

”Sejak dulu, Palembang telah menjadi kawasan metropolitan. Itu tidak lepas dari keberadaan Sungai Musi,” ujarnya. Pada masa kolonial Belanda, Sungai Musi masih memancarkan pesonanya. Bahkan, sebutan ”Venice of the East” pernah disematkan oleh para penjajah.

Selain kampung etnis, penemuan sejumlah peninggalan pada masa Kerajaan Sriwijaya, seperti arca, keramik, dan prasasti, di kawasan sungai juga menandakan adanya aktivitas masyarakat di tepi sungai pada masa itu. Bahkan, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa Palembang merupakan sebuah kota besar atau bahkan dimungkinkan sebagai pusat Kedatuan Sriwijaya.

Jejak Kerajaan Palembang Darussalam juga masih ada. Farida mengatakan, di kawasan Pulau Kemaro, selain terdapat klenteng Hok Tjing Rio, sebenarnya terdapat benteng pertahanan terluar dari kerajaan Palembang Darusalam yang dihancurkan Belanda di masa kolonial pada 1818. ”Saat benteng di Pulau Kemaro dihancurkan, Kerajaan Palembang Darussalam pun runtuh pada 1821,” katanya.

Wisata sungai

Kekayaan sejarah di tepian sungai inilah yang hendak dikembangkan Pemerintah Kota Palembang menjadi wisata sungai, bahkan yang pertama di Indonesia.

Saat ini pemkot tengah mengerjakan sejumlah proyek penataan tepian Sungai Musi, dimulai dari penataan Benteng Kuto Besak (BKB) sejak pertengahan juli lalu. Kawasan BKB dipugar, taman kota akan dibangun, juga tugu Ikan Belida setinggi 13 meter.

”Dengan latar belakang Jembatan Ampera, tentu akan menambah daya tarik bagi wisatawan,” kata Wali Kota Palembang Harnojoyo.

Penataan dilanjutkan dengan pembangunan turap sepanjang 1.600 meter yang akan menghubungkan satu kawasan dengan kawasan lain di tepi Sungai Musi.

Pembangunan turap akan dilaksanakan di sejumlah obyek wisata, seperti Kampung Al-Munawar, Pulau Kemaro, kawasan 3-4 Ulu, Pasar 16 ilir, dan Kampung Kapitan. ”Turap ini akan menjadi akses bagi wisatawan menyusuri tepian Sungai Musi,” ujarnya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Suasana salah satu sudut Kampung Kapitan di tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (6/8/2016). Kampung Kapitan didiami turun-temurun warga Tionghoa dan memiliki sejarah yang kuat saat peralihan dari Sriwijaya ke Kesultanan Palembang.
Ketua RT 024 Kelurahan 13 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Muhammad Kadir mengatakan, dipilihnya kawasan Al Munawar sebagai salah satu obyek wisata tepian Sungai Musi karena warganya merupakan keturunan Habib Abdurahman Al Munawar, keturunan Arab, dan sampai kini masih menjaga tradisinya.

Di Kampung Al Munawar, wisatawan dapat menikmati kesenian marawis, gambus, hadroh, serta wisata kuliner nasi minyak dan nasi kebuli. Wisatawan juga dapat menikmati bangunan-bangunan di kampung yang rata-rata berusia 200 tahun hingga 350 tahun.

”Dari 23 rumah yang ada, 8 di antaranya masuk dalam cagar budaya. Kedelapan rumah inilah yang akan diusulkan menjadi homestay,” kata Kadir.

Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang Raimon Lauri mengatakan, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Palembang tergolong fluktuatif. Pada 2013, wisatawan yang berkunjung sebanyak 1,6 juta orang, sementara pada 2014 sebanyak 1,8 juta.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Suasana salah satu sudut Kampung Arab di tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (6/8/2016). Kampung Arab didiami turun-temurun warga arab sejak 300 tahun lalu.
Namun, pada 2015, menurun menjadi 1,7 juta wisatawan. Tahun 2016, dengan adanya pengembangan obyek wisata, jumlah wisatawan ditargetkan sebanyak 2,5 juta orang.

Penerbangan langsung

Raimon mengatakan, pemkot optimistis pengembangan wisata di tepian Sungai Musi dapat menarik minat wisatawan, terutama dari kota dan negara yang memiliki rute penerbangan langsung dengan Palembang, seperti Surabaya, Bali, Yogyakarta, Bandung, Medan, Bangka Belitung, Pekanbaru, Jambi, dan Bengkulu. Adapun untuk penerbangan internasional, Palembang sudah terhubung dengan Singapura dan Kuala Lumpur, Malaysia.

Bahkan, untuk Bali, kata Raimon, pihaknya bekerja sama dengan Asosiasi Agen Perjalanan dan Wisata untuk menyediakan paket khusus yang memungkinkan wisatawan dari Bali mampir sejenak di Palembang. ”Saat ini, kami sedang membicarakan konsepnya,” ujar Raimon.

Untuk menunjang wisata sungai, pemkot menyediakan tiga bus air dan sebuah kapal pesiar bagi wisatawan yang akan berkunjung ke perkampungan etnis ataupun ke Pulau Kemaro. Namun, peminat bus air dan kapal pesiar ini sedikit, salah satunya karena mahal.

Harga sewa bus air berkapasitas 40 orang ini sebesar Rp 1,2 juta. Adapun harga sewa kapal pesiar dengan kapasitas 70 orang sebesar Rp 7 juta. Wisatawan, terutama yang tak berombongan, lebih memilih menggunakan perahu ketek.

Permasalahan lain adalah sampah yang menumpuk di tepi Sungai Musi, terutama saat air sungai surut. Dan, sampah justru banyak menumpuk di sejumlah kawasan yang menjadi prioritas pengembangan wisata, seperti Pulau Kemaro, Kampung Arab, dan Kampung Kapitan.

Permasalahan itu harus segera diatasi, apalagi pariwisata sungai ini akan disajikan kepada para atlet Asian Games ke-18 pada September 2018. (Rhama Purna Jati)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Agustus 2016, di halaman 23 dengan judul "Mengelola Jejak Sejarah di Sungai Musi".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com