Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
A Bobby Pr

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) ini menekuni penulisan buku biografi. Sejak di bangku kuliah ia sudah menulis buku dan membuat majalah. Beberapa karyanya yang sudah dibukukan antara lain Ny. Lie Tjian Tjoen: Mendahului Sang Waktu (2014); Mgr. Michael Cosmas Angkur OFM: Pemimpin Sederhana (2014); Pater Wijbrans OFM: Memberi Teladan Tanpa Kata, (2010); Mgr. Hermelink: Setelah 27 Tahun Dimakamkan Jenazahnya Masih ‘Utuh’ (2010); Jurnalistik: Bakat? Buang ke Laut (2009).

Keindahan Tersembunyi di Kepulauan Padaido

Kompas.com - 23/08/2016, 07:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Malaikat itu menggosok-gosokkan tangannya sehingga keluar api. Tangan yang diselimuti api itu didekatkan ke daun kelapa kering. Dalam sekejap api menyala.

Beberapa orang yang menyaksikan itu ketakutan. Mereka lari ke tepi pantai dan kemudian masuk ke laut. Setelah itu lenyap di Samudra Pasifik. Konon mereka kemudian berubah menjadi lumba-lumba.

Dari cerita itu mereka percaya bahwa lumba-lumba berasal dari penduduk Kepulauan Padaido yang masuk ke laut. Maka masyarakat hingga sekarang tidak menangkap lumba-lumba. Apalagi hewan-hewan itu kerap berenang di sisi perahu nelayan yang akan melaut.

Pantai yang ada di Kepulauan Padaido umumnya diselimuti pasir putih yang lembut. Maka setelah berenang, menyelam, atau menangkap ikan, wisatawan dapat berjalan atau bermain di tepi pantai.

Setiap kita melangkah tanpa sepatu tidak perlu takut tergores oleh karang atau bebatuan karena pasirnya lembut seperti tepung.

“Di sini pantainya indah dan udaranya masih murni. Begitu kata turis yang pernah saya antar,” ujar Anton yang pernah membawa wisatawan dari Jerman dan Afrika Selatan itu.

Masyarakatnya pun menyambut dengan ramah setiap pengunjung yang datang. Kalau Anda beruntung masyarakat akan menyuguhkan api unggun yang dibuat setinggi 10 meter.

Masyarakat membuat api unggun dengan cara menyusun empat batang pohon yang menjulang tinggi untuk dijadikan kerangka. Bagian dalam diisi dengan daun-daun kelapa yang dikeringkan. Setelah disulut, api teciptalah api unggun yang membumbung tinggi.

Biasanya para tamu disuguhi lagu-lagu rakyat yang diiringi dengan gitar dan barang-barang yang dipukul sebagai gendang.

Ada pula sebuah gitar besar buatan penduduk setempat dari batang pohon. Senarnya terbuat dari tali pancing yang cukup tebal.

Kalau lagu-lagu dikumandangkan, penduduk mengajak wisatawan untuk menari sembari bernayanyi sampai pagi.

Kalau Anda datang ke tempat ini, masyarakat akan menyambut dengan penuh keramahan. Nah, Anda tertarik datang ke tempat ini?

Kalau berminat jangan lupa bawa bahan makanan karena warung penduduk hanya menyediakan barang-barang terbatas. Selamat menikmati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com