SURABAYA, KOMPAS.com—Malam sudah larut, menjelang pukul 22.00 WIB. Namun, aktivitas di dua gang di kawasan Rungkut Lor, Surabaya, Jawa Timur, justru sedang seru-serunya.
Setiap hari pada jam itu, para ibu mulai mengolah adonan penganan alias jajanan. Salah satu kue tradisional yang tak banyak lagi dibuat orang juga ada di sini, yaitu jenang jagung.
Inilah kawasan Kampung Kue, tempat produksi beragam jajanan yang akan dijual "kelilingan", di pasar, bahkan di hotel-hotel besar.
Kompas.com berkesempatan mengintip pembuatan jenang jagung ini, langsung dari dapurnya, Senin (22/8/2016) malam.
Bertambah larut, keseruan makin meningkat hingga puncaknya pada pukul 03.00 WIB kue-kue kecil akan dijajar di meja-meja di depan rumah warga.
Para tengkulak serta pedagang keliling dan pasar akan mulai mengerubuti kue-kue itu, "kulakan" untuk dijual kembali.
“Di sini ada banyak kue tradisional berharga murah,” ujar Elfa Susanti, salah satu pembuat kue di kampung ini, saat dijumpai Kompas.com di dapurnya.
“Saya cari ide buat memiliki pekerjaan yang dapat dilakukan di rumah biar bisa urus anak,” ujar Elfa.
Tiga dasawarsa
Elfa tak pernah bercita-cita menjadi pembuat kue. Keadaan dan kebutuhan yang mengantarkannya ke aktivitas ini.
Punya anak kedua dan memilih berhenti bekerja pada 2002, Elfa memutar otak untuk mencari uang tanpa harus meninggalkan anaknya.
Aktivitas ibu Elfa, Nurul Fathana (61), seketika menjadi pandangan pertama saat dia mencari-cari sumber penghasilan baru.
Nurul memang sudah membuat dan menjual kue sejak era 1970-an. Jenang jagung adalah penganan paling khas yang dibuat Nurul, di antara segala rupa jenis kue yang dapat ditemukan di kampung ini.
Elfa pun berbagi dengan sang ibu. Nurul tetap membuat jenang jagung, sementara Elfa menambah ragam jenis kue tradisional dari dapur keluarganya.
"Seluruh kue dibuat pada tengah malam. Paling cepat (mulai) pukul 21.00 WIB,” ungkap Elfa.
Tak heran, tengah malam di sini akan semerbak tercium aroma kue.
Mengintip dapur jenang jagung
Saat Kompas.com tiba di dapur Dieva, racikan dasar jenang jagung sudah siap diolah. Tepung jagung yang dipakai bukan buatan pabrik atau dibeli di toko.
Nurul menyiapkan sendiri tepung jagung ini, mulai dari merendam pipilan jagung selama dua hari, menjemur sampai kering, dan menggilingkannya ke pasar.
Di wajan besar dan kompor berbahan bakar gas alam, tepung jagung tersebut akan "bertemu" dengan gula dan santan. Sebelumnya, bahan-bahan ditimbang sesuai ukuran yang dibutuhkan.
Untuk pesanan khusus, gula bisa dihilangkan. Biasanya pesanan khusus datang dari para penderita atau mereka yang sadar risiko diabetes.
Di Kampung Kue, tinggal Dieva yang rutin memproduksi jenang jagung. Ibaratnya, jenang jagung adalah trademark produksi Dieva.
"Mungkin banyak yang bisa membuatnya. Akan tetapi, dari dulu jenang jagung sudah melekat pada citra Ibu (Nurul), sehingga tidak ada tetangga yang membuat jenang ini lagi," imbuh Elfa.
Soal rasa, jenang jagung Dieva juga punya kelebihan. Meski teksturnya halus di lidah, di sela-selanya terasa ada bulir saat coba dikunyah.
“Ini rahasianya. Ada kres-kres jagung karena tepung benar-benar kami buat dari jagung asli, bukan beli yang sudah jadi,” kata Elfa dan Nurul saling bersahutan.
Proses pembuatan
Dalam pembuatannya, tiga adonan dasar jenang jagung dimasak selama 40 menit. Selama itu, Nurul tak akan berhenti mengaduk agar adonan tak menggumpal.
Sesudah itu, Elfa akan membantu ibunya mengangkat wajan dan memindahkan olahan adonan ke cetakan.
Setelah dingin, Elfa akan mengiris kue itu dengan tebal satu sentimeter. Untuk penjualan harian, potongan jenang jagung akan dibungkus plastik, dan dihargai Rp 1.000 per potong.
“Finishing-nya itu biasanya pukul 01.00 WIB. Kami iris, kemas, lalu siap-siap (jualan) ke depan (rumah),” lanjut Elfa.
Kalau pesanan datang dari hotel atau acara besar, kemasan pun menyesuaikan. "Kalau dijual di pasar pakai kemasan yang buat hotel, terlalu repot dan jatuhnya mahal," ujar Elfa lugas.
Kebanyaa pembeli langsung ke Kampung Kue adalah para "tengkulak". Mereka akan menjual kembali kue-kue itu ke para pedagang eceran di pasar.
"Tengkulak bisa jual lagi dari Rp 1.500 sampai Rp 2.500,” sebut Elfa.
Dari jualan jadi festival
Waktu berlalu, Kampung Kue sudah dikenal makin banyak orang. Aktivitas para ibu ini pun bertambah.
Dari semula hanya biasa membuat kue, mereka sekarang juga kerap ikut pelatihan untuk menambah ragam dan kualitas penganan buatannya.
Satu lagi, kampung ini juga rajin menjadi lokasi festival kuliner.
“Total, ada 40 pedagang kue di sini. Kami biasa mengadakan pameran jajanan pasar pada akhir pekan. Kalau kebetulan pas har libur sekolah, banyak sekali orang-orang yang datang,” tutur Elfa sumringah.
Bagi Nurul, aktivitasnya dari tahun ke tahun membuat kue sudah meluluskan dua anaknya menjadi sarjana, termasuk Elfa.
"Kalau capek ya istirahat. Siang setelah jualan kan bisa, sebelum menyiapkan bahan berikutnya," ujar Nurul sembari terkekeh, saat ditanya rahasia sehat dan segar dengan segala aktivitas tengah malanya di dapur.
Mau mencicipi jenang jagung "kres-kres"? Dijamin tak rugi....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.