Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aceh Singkil, Riwayat Daerah yang Mengabaikan Potensinya

Kompas.com - 31/08/2016, 20:35 WIB

ACEH Singkil merupakan daerah yang kaya dengan potensi wisata. Apalagi, daerah ini memiliki tiga lokasi suaka alam yang potensial menjadi obyek wisata alam, yakni Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Taman Wisata Alam Laut Pulau Banyak, dan Taman Wisata Alam Pulau Banyak.

Namun, semua potensi itu belum tergarap dengan optimal. Pemerintah setempat lebih suka menggarap sektor perkebunan, terutama perkebunan sawit yang notabene berkontribusi besar terhadap kerusakan alam di sana.

Aceh Singkil merupakan daerah paling ujung di Aceh. Jaraknya mencapai 642 kilometer atau sekitar 11 jam 33 menit perjalanan darat ke arah selatan dari ibu kota Aceh, Banda Aceh.

Daerah tempat lahirnya ulama besar Aceh, Syekh Abdurrauf Al-Singkili alias Syiah Kuala, ini merupakan salah satu kabupaten termuda di Aceh, yakni berdiri pada 20 April 1999 setelah mekar dari Kabupaten Aceh Selatan.

Kabupaten yang pernah menjadi pintu masuk utama Islam dan perdagangan di wilayah barat Aceh ini memiliki banyak potensi wisata alam. Paling tidak, daerah ini memiliki Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 82.374 hektar, Taman Wisata Alam Laut Pulau Banyak seluas 205.720 hektar, dan Taman Wisata Alam Pulau Banyak seluas 24.706 hektar.

Semua potensi itu menawarkan keindahan dan kekayaan alam yang luar biasa. Suaka Margasatwa Rawa Singkil misalnya. Di sana, pelancong bisa melihat keunikan hutan rawa yang rimbun berbaur dengan perairan yang bersih.

Pelancong pun bisa melihat satwa langka secara langsung, seperti buaya muara (Crocodylus porosus) dan orangutan sumatera (Pongo abelii).

Adapun di Pulau Banyak, pelancong bisa menikmati keindahan bawah laut yang dipenuhi terumbu karang ataupun ikan warna-warni. Suasana permukaan laut, pantai, dan langitnya pun masih bersih nan asri. Tempat ini cocok bagi pelancong yang ingin menyendiri, menenangkan diri, ataupun melepaskan penat dari hiruk-pikuk suasana kota.

”Jika digarap optimal, Pulau Banyak bisa menjadi aset wisata andalan untuk Aceh,” ujar Ahmad Ariska (28), wisatawan asal Banda Aceh, ketika ditemui Kompas di Pulau Balai, Kecamatan Pulau Banyak, Senin (25/7/2016).

Masih diabaikan

Meski demikian, segala potensi itu masih diabaikan. Pemerintah setempat belum menunjukkan iktikad untuk menggarap semua potensi itu menjadi lebih baik dan profesional. Hal itu terlihat jelas dari semua prasarana dan sarana pendukung potensi-potensi itu yang sangat buruk.

Contohnya, infrastruktur jalan. Sebagian besar kondisi jalan di Aceh Singkil sangat buruk. Hampir semua jalan di sana berlubang dengan kedalaman 10-30 sentimeter.

Jalannya pun sempit, yakni rata-rata berlebar 6 meter atau hanya pas untuk dua kendaraan. Selain itu, jalanan itu juga tidak dilengkapi lampu penerangan dan markah jalan, seperti garis putih penuntun jalan.

Di sisi lain, moda transportasi umum ke Aceh Singkil pun masih sulit. Dari Banda Aceh, hanya ada dua pilihan kendaraan travel untuk ke sana. Kendaraan itu melayani perjalanan setiap hari, tetapi hanya sekali jalan pada pukul 19.00.

Sebenarnya ada pesawat perintis Susi Air untuk ke Aceh Singkil. Namun, pesawat itu hanya tersedia rute Medan (Sumatera Utara)-Aceh Singkil. Jadwal berangkatnya pun hanya seminggu sekali, yakni pada Selasa pukul 14.05.

Untuk ke Pulau Banyak, situasinya lebih sulit lagi. Hanya ada dua moda transportasi dari daratan Aceh Singkil ke Pulau Banyak, yakni menggunakan feri dan kapal nelayan. Feri berangkat ke Pulau Banyak seminggu sekali, yakni pada Rabu, dengan waktu berangkat tentatif menunggu penumpang penuh.

Sementara kapal nelayan berangkat ke Pulau Banyak setiap hari dan waktu berangkatnya pun tentatif menunggu penumpang penuh. Akan tetapi, kapal feri ataupun kapal nelayan itu bisa saja tidak berlayar jika penumpang tidak sesuai batas minimal dan kondisi cuaca buruk.

”Kalau tidak punya tekad kuat dan keperluan mendesak, pendatang ataupun wisatawan dari Banda Aceh dan sekitarnya pasti tidak akan mau ke mari. Mereka pasti lebih memilih ke Pulau Sabang yang aksesnya lebih mudah dan dekat,” ucap Muhammad Fadly (28), wisatawan Banda Aceh.

Warga ingin perubahan

Karena situasi itu pula, daerah ini kurang diminati pengunjung. Bahkan, Aceh Singkil tak ubahnya kota mati. Kehidupan kabupaten berpenduduk 102.000-an jiwa ini hanya terjadi dari Senin hingga Jumat dari pukul 09.00 hingga 17.00 per hari. Itu pun lalu-lalang orang berangkat ataupun pulang kerja ataupun sekolah. Selebihnya, jalanan lengang, sunyi, dan sepi.

Warga Desa Rimo, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, Murti Ali Lingga (22), mengatakan, kondisi itu diyakini turut menyebabkan Aceh Singkil menjadi salah satu daerah termiskin di Aceh.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Aceh 2014, penduduk miskin di Aceh Singkil 19.400 jiwa pada 2012 dan meningkat menjadi 20.700 jiwa pada 2013.

Persentase penduduk miskin 18,58 persen pada 2012 yang jauh lebih tinggi dari rata-rata Aceh 17,92 persen pada 2012. Angka itu meningkat menjadi 18,73 persen pada 2013 yang juga lebih tinggi dari rata-rata Aceh 17,72 persen pada 2013.

”Seandainya pariwisata hidup, pasti akan turut menghidupkan gairah niaga di sini. Kedatangan wisatawan akan memacu warga menjajakan dagangan. Kalau sekarang, warga malas berdagang karena sepi pembeli,” kata Murti.

Warga Pulau Balai, Pulau Banyak, Khairuman (53), menuturkan, warga ingin sekali ada perubahan lebih baik di sektor pariwisata.

Sektor itu dinilai berpotensi menambah penghasilan warga yang saat ini mayoritas bekerja sebagai nelayan, petani, ataupun buruh perkebunan sawit. Apalagi, penghasilan dari melaut, bertani, dan buruh perkebunan sawit kian tak pasti.

”Penghasilan nelayan terus menurun karena masih bergantung pada peralatan tradisional, sedangkan penghasilan petani dan buruh perkebunan sawit sering terganggu bencana banjir,” tutur Khairuman, yang sudah memulai bisnis pariwisata dengan membuka homestay di rumahnya.

Bupati Aceh Singkil Safriadi menyampaikan, pihaknya memang belum bisa melakukan pembangunan ataupun perbaikan di sektor pariwisata. Sebab, pembangunan dan perbaikan itu membutuhkan biaya yang besar dan tidak mampu ditanggung APBD Aceh Singkil.

”Lagi pula, sektor pariwisata belum mendesak dibangun. Sebab, sektor itu belum menjadi penopang ekonomi Aceh Singkil. Saat ini, penopang utama ekonomi Aceh Singkil adalah perkebunan sawit,” ujarnya.

Aktivis lingkungan dari Aceh Nature Community, Fendra Tryshanie, mengatakan, dengan modal potensi wisata alam yang berlimpah, sewajarnya pemerintah menggalakkan ekowisata. Hal ini bisa membuat perekonomian menggeliat dan alam tetap terjaga.

”Pemerintah harus mulai beralih dari sektor perkebunan ke pariwisata. Apalagi, perkebunan, terutama sawit, banyak dampak negatif, salah satunya memicu rusaknya hutan heterogen yang menjadi penampung air hujan. Akibatnya, banjir selalu terjadi di Aceh Singkil setiap hujan,” ucapnya. (ADRIAN FAJRIANSYAH)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 26 dengan judul "Aceh Singkil, Riwayat Daerah yang Mengabaikan Potensinya".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com