HO CHI MINH CITY, KOMPAS.com - Agak terkejut begitu melihat Ho Chi Minh City. Kota terbesar di Vietnam itu terbilang modern. Awalnya, saya kira Ho Chi Minh tak lebih baik dari Jakarta. Ekonominya tertinggal, penduduknya miskin, jarang gedung bertingkat dan didominasi bangunan bersejarah bekas perang dunia.
Apalagi, Vietnam menganut sistem komunisme yang notabene tertutup dan kaku. Persepsi ini juga diamini Sigit Febriyanto (25), penari asal Bandung, Jawa Barat yang juga diundang Kementerian Pariwisata untuk tampil dalam acara International Travel Expo (ITE) Ho Chi Minh City (HCMC) 2016. 7-11 September 2016.
"Ya karena negara komunis, saya kira kotanya seperti kota kuno. Kotanya juga saya kira masih jauhlah ya dengan kita di Indonesia," ujar Sigit kepada KompasTravel.
Namun sejauh mata memandang kota yang terletak di Vietnam selatan itu, hanya dua hal yang kami rasakan. Keterbukaan dan kemajuan.
Cari Angin di Ben Tanh Market
Tanggal 10 September 2016 merupakan malam terakhir kami di Ho Chi Minh City. Saya pun memanfaatkannya untuk sekadar mencari angin. Satu jam sebelumnya, Ho Chi Minh City diguyur hujan sedang sehingga cuaca sangat nyaman untuk beraktivitas di luar ruangan.
Saya menuju Ben Tanh, pasar yang menjajakan beragam pernak-pernik khas Vietnam. Dari Hotel Continental Saigon di Distrik I, tempat menginap, saya menyeberang Dong Khoi Street ke arah pusat kota.
Di sekitar gedung itu, tampak sejumlah pusat perbelanjaan kelas atas, kafe dan restoran. Di antaranya, tampak berlogo Starbucks, Coffe Bene dan Circle-K. Di sela itu, terdapat pula kelab malam dengan kerlap kerlip lampu dan dentuman musik yang ingar bingar hingga ke jalan-jalan.
Trotoar selebar sekitar dua meter di sepanjang jalan itu cukup dipadati banyak orang berlalu lalang. Mulai dari berwajah lokal, Eropa dan Amerika hingga Afrika. Suasana itu masih melekat mata ketika langkah kaki saya sampai di area Nguyen Hue, pusat kota.
Patung Ho Chi Minh atau Nguyen Tat Thanh berdiri gagah di tengah selasar taman kota menghadap ke Sungai Mekong. Ia adalah tokoh pemimpin gerakan komunis sekaligus mantan presiden Republik Demokrasi Vietnam.
Area patung tokoh komunis Vietnam ini juga dikepung pusat-pusat perbelanjaan. Di sebelah timur patung, berdiri pusat perbelanjaan Plaza Vincom. Di sisi barat patung, berdiri mewah Hotel Rex.
Ratusan orang menikmati malam di area itu, baik hanya dengan berkumpul dan bersenda gurau hingga berfoto bersama. Sayang, meski tata kotanya cukup rapi, namun masih ada titik-titik yang dikotori sampah.
Di tepi area taman, terdapat beberapa pedagang makanan pinggir jalan. Ada yang menjual mi pho, bakso dan sosis goreng serta jagung dicampur susu dan keju. Harga camilan itu bervariasi, mulai dari 5.000 hingga 15.000 Dong. Mereka menggunakan gerobak sepeda dan motor agar dapat berkeliling area itu.
Meski kuliner pinggir jalan itu cukup ramai pembeli sehingga menarik hati, tapi saya menjatuhkan pilihan camilan kepada semangkuk kecil ice cream gelato seharga 40.000 Dong yang dijajakan sebuah kafe bergaya klasik.
Saya kembali melangkah sembari menikmati suasana kota. Setelah sekitar 15 menit berjalan, sampailah di kawasan Pasar Ben Tanh. Ben Tanh Market adalah semacam pasar malam. Namun, pasar ini buka setiap malam, bukan seperti pasar malam di Indonesia yang hanya buka pada malam tertentu saja.
"Ayo Bang, lihat-lihat dulu," sapa salah seorang pedagang kepada saya, dengan logat setempat. Salah seorang pedagang tas rajut, Pom (26) mengatakan, seiring meningkatnya wisatawan Indonesia di Vietnam, mereka perlahan-lahan belajar bahasa Indonesia dan mencoba berkomunikasi jika bertemu dengan wisatawan Indonesia walaupun sangat terbatas.
"Saya hanya bisa bilang, 'ayo Bang, lihat-lihat dulu' dan 'terima kasih'. Itu saja. Sisanya saya tidak tahu," ujar dia.
Para pedagang rata-rata wanita. Mereka berkulit putih, berambut panjang dicat pirang dan berpakaian 'mini'. Penampilan semacam itu merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berbelanja. Dengan ramah dan sabar, mereka akan terus mendampingi hingga mencapai sepakat soal harga.
Mahal atau tidaknya harga barang-barang itu, tergantung dari kemampuan tawar menawar. Saya misalnya. Untuk sebuah tas rajut motif tradisional seharga 30.000 Dong bisa saya bawa pulang dengan hanya 12.000 Dong.
Kaos oblong bertuliskan 'Saigon' juga bisa saya dapat dengan harga 40.000 dong dari harga awal sebesar 100.000 Dong.
Namun, berbelanja di Ben Tanh Market harus berhati-hati. Meski jalan itu selalu dipenuhi orang, namun pengendara sepeda motor di pasar itu atau Vietnam pada umumnya, cukup 'gila'. Lebih 'gila' dari Jakarta.
Wisata belanja juga dapat wisatawan nikmati di pusat-pusat perbelanjaan kelas atas yang tadi saya sebut. Semua tergantung pada seberapa dalam kocek anda. Murah dan mahal, semua ada.
Selain wisata belanja, banyak destinasi lain di kota tersebut yang dapat didatangi. Informasi dari penduduk setempat, beberapa lokasi yang dimaksud, antara lain Museum Perang Dunia I di Distrik 3, Katedral Notre Dame di Distrik I, Reunification Palace dan Saigon Opera House yang juga terletak di Distrik I.
Jika berada di satu distrik, wisatawan dapat menempuhnya dengan berjalan kaki. Sementara jika berbeda distrik, wisatawan dapat menjangkaunya dengan bus kota. Jika tidak macet, perjalanan dipastikan ditempuh dengan nyaman karena aspal di kota tersebut nyaris tanpa lubang. Sangat mulus.
Setelah lelah berwisata, sejumlah jalan besar di Distrik I banyak menyediakan jasa pijat dan spa. Harganya bervariasi mulai dari 100.00 Dong hingga 450.000. Tapi, telitilah sebelum menggunakan jasa itu. Jangan sampai terjebak. Sebab, sebagian dari tempat itu merupakan tempat 'pijat plus-plus'.
Pengalaman wisata 'mencari angin' semalaman di Ho Chi Minh City tersebut saya ungkapkan kepada Konsuler Jenderal RI untuk Vietnam bagian selatan, Jean Anes. Pria asal Manado, Sulawesi Utara yang telah tinggal di Ho Chi Minh selama dua tahun itu setuju dengan pendapat saya tentang kemajuan dan keterbukaan Vietnam saat ini.
"Indikator kemajuan itu adalah pertumbuhan ekonomi nasional Vietnam tahun ini di atas 8 persen. Nyaris 9 persen. Pertumbuhan ekonomi di Ho Chi Minh sendiri mencapai 6,4 persen tahun ini. Negara ini benar-benar maju," ujar Jean.
Selain pembangunan infrastruktur yang masif, investasi asing pun masuk dengan derasnya. Negara yang paling banyak berinvestasi di Vietnam adalah China, disusul Amerika Serikat di urutan kedua dan Jepang di urutan ketiga. Adapun, Indonesia menempati urutan 30-an.
Ho Chi Minh memiliki 15 taman industri dan zona pemrosesan ekspor. Di kota itu juga terdapat taman perangkat lunak Quang Trung dan taman teknologi tinggi Saigon. Lebih dari 50 bank serta 20 perusahaan asuransi nasional dan internasional juga membuka kantornya di kota tersebut.
Derasnya arus investasi ini karena sistem ekonomi Vietnam yang mulai dibuka, yakni sejak pertengahan tahun 90-an. Pemerintah membuka rute-rute penerbangan dari kota-kota besar di Vietnam ke penjuru kota di dunia. Vietnam semakin terjangkau.
Bahkan, Bandar Udara Tan Son Nath di Ho Chi Ming saat ini sudah tidak dapat lagi menampung calon penumpang. Oleh sebab itu, pemerintah sedang membangun bandar udara lagi di Long Tanh, Provinsi Dong Nai untuk memenuhi kebutuhan penerbangan.
"Di sini, mereka tidak memandang apa agamanya, apa ideologinya, dari mana asalnya, ada kepentingan apa dalam berinvestasi dan lain-lain. Pokoknya kalau kamu mau berbicara tentang ekonomi, kalau kamu berbicara soal membangun, berarti kita adalah teman," ujar Jean Anes.
"Tidak ada pula di sini kasus pungutan liar, semua dijamin pemerintahnya. Mungkin adalah satu atau dua kasus korupsi dan pungli. Tapi itu sangat-sangat sedikit dan belum sampai menjadi persepsi publik yang tertanam di benak kita jika mau berinvestasi di Vietnam," lanjutnya.
Keterbukaan dan kemajuan itu, menurut Jean Anes, juga didukung oleh karakter masyarakat Vietnam yang gigih dan fokus dalam bekerja. Dalam keluarga, suami dan istri sama-sama bekerja adalah hal yang lumrah. Perlahan-lahan, mereka pun menuju ke arah sejahtera.
Seiring dengan itu, kebutuhan masyarakat Vietnam akan berwisata semakin tinggi. Catatan KJRI untuk Vietnam bagian selatan, dari total 90 juta jiwa penduduk Vietnam, enam juta di antaranya berwisata ke luar negeri. Ini merupakan angka yang tinggi dibandingkan sebelumnya dan semakin tahun jumlahnya meningkat.
Sayangnya dari jumlah itu, hanya 50.000 warga Vietnam yang menjadikan Indonesia sebagai destinasi wisata. Mereka kebanyakan terpusat di Bali dan Yogyakarta. Sisanya lebih memilih belanja ke Singapura dan menikmati budaya Thailand serta Malaysia.
Tingkat kesejahteraan mereka juga dapat dilihat dari pembelian kendaraan bermotor. Harga motor di Vietnam saja misalnya, lebih mahal satu hingga satu setengah kali lipat dibandingkan dengan harga motor dengan merk yang sama di Indonesia.
"Namun, mereka tetap bisa membelinya. Lihat saja di jalan-jalan, semua orang itu naik motor," ujar Anes.
Dalam semalam saja, persepsi saya tentang Ho Chi Minh dan Vietnam pada umumnya, berubah 180 derajat. Saya tidak lagi memandang negara komunis itu sebelah mata. Pulang dari mencari angin perasaan saya malah berubah menjadi sedikit khawatir. Mungkinkah Indonesia disalip Vietnam?
****
KompasTravel kembali menghadirkan kuis "Take Me Anywhere 2". Pemenang akan mendapatkan kesempatan liburan gratis yang seru ke Yogyakarta selama tiga hari dua malam.
Hadiah sudah termasuk tiket pesawat, transportasi lokal, hotel, konsumsi, dan beragam aktivitas seru selama di Yogyakarta. Juga raih kesempatan memenangkan hadiah smartphone. Klik link berikut: Mau Liburan Gratis di Yogyakarta? Ikuti Kuis "Take Me Anywhere 2"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.