Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Untuk Segelas Kopi, Bertamulah

Kompas.com - 15/09/2016, 17:28 WIB

DI belahan dunia mana pun, kopi begitu melekat dalam kehidupan manusia. Di Perancis, hari-hari tanpa kopi bagaikan hidup tanpa mereguk anggur.

Di Amerika Latin dan Eropa Selatan, tradisi minum kopi sangat membudaya. Warga rutin menikmati minuman itu pada pagi dan sore. Jenis espresso hitam pekat, aromatik yang paling digemari.

Tak kalah membudayanya di Arab Saudi. Masyarakat meletakkan etiket dan prosedur minum kopi yang tegas. Menyuguhkan kopi adalah bentuk penghormatan kepada tamu yang datang ke rumah.

Sebelum kopi diseduh, tuan rumah terlebih dulu membakar dupa dan rempah. Setelah aroma menyebar ke seluruh ruangan, barulah kopi siap diseduh. Tamu akan spontan menyatakan antusiasmenya atas minuman yang diberikan.

Sebagaimana besarnya minat dunia pada kopi, begitu pula di pelosok-pelosok dataran tinggi Pulau Flores. Cinta dan kopi bagai ikatan yang lekat mewarnai kehidupan masyarakat.

Sumber penghidupan bertambah semarak di atas ranumnya bulir buah kopi. Itulah jawaban atas ungkapan cinta masyarakat yang tercermin dalam keseharian.

Hutan bambu mengiringi langkah Kompas meninggalkan Kampung Adat Bena, Agustus lalu. Suasana pagi menuju perkebunan kopi Bajawa di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, terasa teduh.

Rumah-rumah adat berdinding kayu dan beratap ilalang masih sesekali terlihat sebelum akhirnya kendaraan menepi di depan halaman yang dipenuhi penjemuran biji kopi di Bajawa.

Dari muka rumahnya, Kristoforus Sila (41) menyambut kedatangan Kompas dengan hangat. Tak lama, sang istri muncul dari dalam dengan nampan dipenuhi gelas-gelas berisi minuman kopi hitam. Kristo pun langsung mempersilakan tamunya minum, sebelum percakapan lebih jauh dimulai.

Sesaat menanti minuman itu menghangat, para tamu segera menyeruput. Kopi terasa sedikit asam, pahit, dan manis sekaligus. Namun, manisnya terasa alami dari kopi itu sendiri.

Menurut Kristo, kopi arabika dengan kualitas yang baik menampilkan cita rasa yang spesial. Cita rasa itu dipetik atas jerih payah petani yang telah belasan tahun terakhir menerapkan budidaya dengan benar, mulai dari pemanfaatan bibit, pemeliharaan, hingga pemanenan, termasuk menerapkan sistem organik.

KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Panorama Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada, Nusa Tenggara Timur, Kamis (31/5/2012). Desa ini merupakan desa penghasil kopi arabica Bajawa.
Hanya kopi yang telah berbuah merah yang boleh dipetik. Tujuannya demi mendapatkan rasa manis alami dan tidak sepat, selain dari rasa asam yang menjadi identitas kopi berlabel Arabika Flores Bajawa (AFB).

Menghidangkan kopi untuk tamu telah menjadi budaya setempat. Setelah nama AFB kian mendunia, kopi menjadi sumber kebanggaan masyarakat. Siapa pun yang berkunjung sudah pasti akan disuguhi minuman kopi terbaik oleh si tuan rumah. Jika perlu, sang tamu juga dioleh-olehi biji atau bubuk kopi.

”Kopi memang kami panen untuk dijual. Namun, suguhan minuman di atas meja, itulah kopi terbaik yang kami miliki,” jelas Kristo.

Menyuguhkan kopi dari hasil pengolahan terbaik, lanjut Kristo, adalah wujud penghormatan pada tamu sekaligus menunjukkan dunia betapa spesialnya kopi setempat yang telah diekspor ke Taiwan, Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat itu.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote, menyerahkan oleh-oleh khas Manggarai Timur berupa Kopi Arabika dan Robusta kepada peserta jelajah sepeda Kompas Flores-Timor, Minggu (14/8/2016) di Halaman Rumah Jabatan Bupati di Kompleks Golo Karot.
Tidak hanya kepada tamu, hidangan kopi juga rutin tersaji di atas meja setiap penduduk. Kristo menghabiskan minimal dua gelas kopi pada pagi hari. ”Kalau diandaikan, kopi ibarat gadis cantik yang membuat kita terus ketagihan. Tidak ada hari tanpa minum kopi,” ujarnya.

Persediaan bubuk

Bukan hanya di Bajawa, persediaan bubuk kopi dan gula pasir juga tak boleh habis dalam lemari dapur di Desa Rende Nae, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur. Setiap menyambut tamu datang, hal pertama yang dilakukan sang tuan rumah adalah menyeduh kopi untuk sang tamu.

”Siapa pun yang datang ke rumah kami pasti selalu dikasih minum kopi dulu. Kopi harus selalu tersedia,” ujar Emilia (42), warga Dusun Tangkul, Rende Nae.

Dusun Tangkul yang berada di ketinggian 1.500 meter (mpdl) itu kaya akan kopi arabika dan robusta. Daerah itu dikenal sebagai Dataran Tinggi Colol dan salah satu penghasil utama kopi sejak 1920-an.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO Adel memasukkan kopi robusta yang telah kering dijemur di halaman rumahnya di Desa Urang, Kecamatan Lelak, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (13/8/2016). Kopi yang dihargai pengepul Rp 25.000 per kilogram tersebut kemudian dikirim ke Ruteng untuk kemudian didistribusikan ke luar Pulau Flores.

Kaya akan produksi kopi juga melahirkan budaya minum kopi di rumah bagi masyarakat. Di sana, mereka bahkan meminum hingga belasan gelas dalam sehari. Kebiasaan bertamu sekaligus mendorong hidupnya budaya tersebut.

Warga lokal terbiasa minum kopi hitam tanpa campuran apa pun, termasuk pemanis tambahan. Namun, jika ada tamu yang datang dari luar desa, mereka menawarkan gula karena khawatir tamu tak terbiasa dengan rasa kopi yang cenderung pahit.

Sehari tanpa meminum kopi, tubuh seperti tak bertenaga. Kebanyakan orang tua pun lebih banyak minum kopi ketimbang makan nasi. Kopi telah jadi unsur penting dalam membangun kekuatan dan ketahanan tubuh.

Sebagaimana orang Maluku memperlakukan cengkeh dan pala sebagai bagian penting dalam kehidupan, kopi adalah buah cinta petani Flores. Merusak tanaman kopi berarti merusak harga diri.

Peristiwa kelam yang membekas di hati warga Colol adalah pembabatan tanaman kopi oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai tahun 2003 dengan alasan kebun kopi masyarakat masuk dalam kawasan hutan lindung.

Peristiwa itu berlanjut hingga 2014 dan berujung pada penembakan terhadap belasan petani kopi yang protes atas pembabatan itu. Hingga kini, warga terus berjuang menjaga seluruh tanaman.

Meski sebagai daerah penghasil kopi, sulit ditemukan warung atau pondok kopi di Flores. Ini berbeda dengan Ambon atau Aceh yang dikenal sebagai kota beribu rumah kopi.

”Orang Flores selama turun-temurun lebih suka menikmati kopi di rumah ketimbang di kafe atau restoran,” ujar John Sentis, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Manggarai Timur.

Pandangan umumnya adalah kopi yang dibuat di rumah adalah kopi tanpa ada campuran bahan lain. Bubuk kopi dapat dipastikan berkualitas baik dengan memprosesnya sendiri, mulai dari pemanggangan hingga penggilingan. Setiap pemilik rumah rata-rata telah memiliki kemampuan tersebut.

Karena itu, jika Anda ingin mencicipi minuman kopi dengan cita rasa terbaik di Flores, bertamulah. (Frans P Herin/Danu Kusworo/Irma Tambunan)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 September 2016, di halaman 23 dengan judul "Untuk Segelas Kopi, Bertamulah".

 

******

KompasTravel kembali menghadirkan kuis "Take Me Anywhere 2". Pemenang akan mendapatkan kesempatan liburan gratis yang seru ke Yogyakarta selama tiga hari dua malam.

Hadiah sudah termasuk tiket pesawat, transportasi lokal, hotel, konsumsi, dan beragam aktivitas seru selama di Yogyakarta. Juga raih kesempatan memenangkan hadiah smartphone. Klik link berikut: Mau Liburan Gratis di Yogyakarta? Ikuti Kuis "Take Me Anywhere 2"

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com