Seperti layaknya keluarga yang terpisah sekian lama, ada kerinduan yang menggelayut di hati untuk datang ke Pulau Jawa. ”Saya pernah datang ke Yogyakarta di sana saya belajar lagi bahasa Jawa halus, karena di sini yang kami pahami adalah bahasa Jawa ngoko atau bahasa sehari-hari,” katanya.
Ma’rifah pernah ditertawakan karena penasaran ingin melihat Bengawan Solo. Sajak lagu ”Bengawan Solo” dari Gesang ternyata mengesankan Ma’rifah. Ia pun fasih mendendangkan lagu karya Gesang (almarhum) itu.
Kini di masa pensiunnya Ma’rifah memilih mengabdikan diri kepada warga sekitar dan masjid di kampungnya. Di rumahnya yang hangat dan akrab, Ma’rifah masih menyimpan potongan koran Indonesia tahun 1960-an tentang cerita anak-cucu Ahmad Dahlan di Thailand.
Ia juga memajang kepingan DVD film Ahmad Dahlan karya Hanung Bramantyo beberapa tahun lalu.
Bagi Ma’rifah, dan warga Kampung Jawa lainnya, Jawa masih menjadi tanah yang dirindukan. Bahasanya, tradisinya, makanannya, bahkan lagunya masih melekat dan memikat anak-anak keturunan Jawa di ”negeri gajah putih” itu.
Seperti halnya Ma’rifah yang bisa bertemu dengan keluarga besarnya di Jawa, Supri dan Pahti pun berkeinginan bisa berkumpul dan mengunjungi keluarga besarnya di Kendal dan Demak, dan mengarungi Bengawan Solo yang termasyhur namanya di negeri tempat mereka tinggal kini. (Siwi Yunita Cahyaningrum)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 September 2016, di halaman 29 dengan judul "Kenangan Jawa di Sudut Bangkok".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.