CHIANG MAI, KOMPAS.com - Bus melaju pelan di jalan tanjakan, meliuk gesit di belokan tajam. Kami semakin jauh dari pusat Kota Chiang Mai di Provinsi Chiang Mai, utara Thailand. Tujuan kali ini adalah salah satu kuil tertua, serta yang paling wajib dikunjungi di provinsi tersebut.
Wat Phra That Doi Suthep, begitu nama kuil tersebut. Kuil ini memang terletak di puncak Doi Suthep Hill, 3.520 kaki di atas permukaan laut.
"Kita akan mengunjungi destinasi paling wajib. Pokoknya belum ke Chiang Mai kalau tidak mengunjungi Wat Phra That Doi Suthep," tutur Paiboon Pramuankarn, pemandu wisata yang mengantar KompasTravel dan rombongan dari Tourism Authority of Thailand (TAT) berkeliling Chiang Mai beberapa waktu lalu.
Bus berhenti di depan gerbang utama. Wisatawan hilir-mudik, mengantre tiket dan elevator untuk naik ke atas bukit. Harga tiket masuknya 30 Baht (Rp 11.000) per orang, dan 20 Baht (Rp 7.500) untuk elevator. Ada beberapa pengunjung yang tidak ingin naik elevator, melainkan mendaki sekitar 300 anak tangga mencapai kompleks kuil.
Elevator itu tidak vertikal 90 derajat ke atas, melainkan miring 45 derajat. Sayang, tidak tampak pemandangan sama sekali di sekitar elevator.
Tiba di depan kompleks Wat Phra That Doi Suthep, saya langsung disuguhi pohon Bodhi yang sangat tinggi. Bodhi adalah pohon yang disakralkan umat Buddha. Di bawah pohon Bodhi-lah Buddha bertapa hingga mencapai enlightment alias kesucian.
Pagoda berlapis emas di tengah kompleks tampak berkilauan dari kejauhan. Wat Phra That Doi Suthep dibangun pada 1383 oleh King Nu Naone dari Kerajaan Lan Na. Kerajaan ini berkuasa di Chiang Mai pada abad ke-13 hingga abad ke-18.
"Legendanya berawal dari seorang biksu dari Kerajaan Sukhothai yang menemukan relik Buddha. Relik itu memancarkan cahaya. Hingga akhirnya kekuatan relik itu sampai ke kuping Raja Nu Naone dari Kerajaan Lan Na," papar Paiboon.
Paiboon, yang tanpa alasan tertentu senang dipanggil Jack melanjutkan ceritanya. Biksu dari Sukhothai itu kemudian mendapat izin dari rajanya untuk membawa relik Buddha. Hingga akhirnya di utara Thailand, relik tersebut terbelah dua.
"Satu potong ada di tempat aslinya, sebuah kuil di Suandok. Potongan satu lagi kemudian ditaruh di punggung seekor gajah putih. Gajah tersebut kemudian dilepas ke hutan," paparnya sambil menunjuk White Elephant Shrine di salah satu sisi kuil.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.