Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pagoda Berlapis Emas yang Berkilauan di Chiang Mai

Kompas.com - 29/09/2016, 14:10 WIB
Sri Anindiati Nursastri

Penulis

CHIANG MAI, KOMPAS.com - Bus melaju pelan di jalan tanjakan, meliuk gesit di belokan tajam. Kami semakin jauh dari pusat Kota Chiang Mai di Provinsi Chiang Mai, utara Thailand. Tujuan kali ini adalah salah satu kuil tertua, serta yang paling wajib dikunjungi di provinsi tersebut.

Wat Phra That Doi Suthep, begitu nama kuil tersebut. Kuil ini memang terletak di puncak Doi Suthep Hill, 3.520 kaki di atas permukaan laut.

"Kita akan mengunjungi destinasi paling wajib. Pokoknya belum ke Chiang Mai kalau tidak mengunjungi Wat Phra That Doi Suthep," tutur Paiboon Pramuankarn, pemandu wisata yang mengantar KompasTravel dan rombongan dari Tourism Authority of Thailand (TAT) berkeliling Chiang Mai beberapa waktu lalu.

Bus berhenti di depan gerbang utama. Wisatawan hilir-mudik, mengantre tiket dan elevator untuk naik ke atas bukit. Harga tiket masuknya 30 Baht (Rp 11.000) per orang, dan 20 Baht (Rp 7.500) untuk elevator. Ada beberapa pengunjung yang tidak ingin naik elevator, melainkan mendaki sekitar 300 anak tangga mencapai kompleks kuil.

Elevator itu tidak vertikal 90 derajat ke atas, melainkan miring 45 derajat. Sayang, tidak tampak pemandangan sama sekali di sekitar elevator. 

Tiba di depan kompleks Wat Phra That Doi Suthep, saya langsung disuguhi pohon Bodhi yang sangat tinggi. Bodhi adalah pohon yang disakralkan umat Buddha. Di bawah pohon Bodhi-lah Buddha bertapa hingga mencapai enlightment alias kesucian.

KOMPAS.COM/SRI ANINDIATI NURSASTRI Bodhi adalah pohon yang disakralkan umat Buddha. Di bawah pohon Bodhi-lah Buddha bertapa hingga mencapai enlightment alias pencerahan.

Pagoda berlapis emas di tengah kompleks tampak berkilauan dari kejauhan. Wat Phra That Doi Suthep dibangun pada 1383 oleh King Nu Naone dari Kerajaan Lan Na. Kerajaan ini berkuasa di Chiang Mai pada abad ke-13 hingga abad ke-18.

"Legendanya berawal dari seorang biksu dari Kerajaan Sukhothai yang menemukan relik Buddha. Relik itu memancarkan cahaya. Hingga akhirnya kekuatan relik itu sampai ke kuping Raja Nu Naone dari Kerajaan Lan Na," papar Paiboon. 

Paiboon, yang tanpa alasan tertentu senang dipanggil Jack melanjutkan ceritanya. Biksu dari Sukhothai itu kemudian mendapat izin dari rajanya untuk membawa relik Buddha. Hingga akhirnya di utara Thailand, relik tersebut terbelah dua.

"Satu potong ada di tempat aslinya, sebuah kuil di Suandok. Potongan satu lagi kemudian ditaruh di punggung seekor gajah putih. Gajah tersebut kemudian dilepas ke hutan," paparnya sambil menunjuk White Elephant Shrine di salah satu sisi kuil.

Kompas.com/Sri Anindiati Nursastri Patung gajah putih yang ada di salah satu sisi Wat Prathat Doi Suthep, Chiang Mai, Thailand.

White Elephant Shrine berupa patung gajah putih yang menggendong pagoda emas di punggungnya. Sekilas informasi, gajah putih adalah spesies gajah langka di Thailand. Kerajaan punya tujuh kriteria untuk menentukan apakah seekor gajah termasuk dalam spesies White Elephant.

BACA JUGA: Mengapa Thailand Dijuluki "Negeri Gajah Putih"?

Jack melanjutkan kisahnya. "Gajah tersebut kemudian mendaki Doi Suthep Hill, yang dulu bernama Doi Aoy Chang (Sugar Elephant Mountain). Dia kemudian mengelilingi puncak tersebut sebanyak tiga kali, kemudian mati. Raja Lan Na kemudian memerintahkan warganya untuk membangun kuil di situ," papar dia.

Legenda itulah yang menciptakan tradisi bagi warga lokal untuk mengelilingi kuil utama Wat Phra That Doi Suthep sebanyak tiga kali. Begitu melepas alas kaki dan memasuki kuil, mereka membeli bunga lotus (teratai) kemudian mengelilingi pagoda emas sebanyak tiga kali.

"Sambil berkeliling pagoda, mereka mengucap doa dalam hati," tambah Jack.

KOMPAS.COM/SRI ANINDIATI NURSASTRI Begitu melepas alas kaki dan memasuki kuil, umat Buddha membeli bunga lotus (teratai) kemudian mengelilingi pagoda emas sebanyak tiga kali.

Pria itu kemudian mengarahkan telunjuknya ke sebuah ruangan dekat White Elephant Shrine. Ini adalah tempat para "calon biksu" melangsungkan tradisi selama beberapa hari sebelum menjadi biksu.

"Mereka mengenakan kain warna putih. Mencukur semua rambut, dan berdiam diri selama beberapa hari di ruangan ini. Mereka makan dua kali sehari, dan tidak boleh bersentuhan dengan wanita. Jika sendirian, mereka tidak boleh berada di ruangan yang sama dengan perempuan," tambahnya.

Tanpa basa-basi, saya kemudian langsung memasuki kuil utama tempat berdirinya pagoda emas yang tersohor itu. Pagoda tersebut dilapisi kepingan berwarna emas di semua sisinya. Warnanya berkilauan tertimpa cahaya matahari, meski hari itu awan hitam menggantung di langit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com