Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menikmati Malam dan Legitnya Rambutan Binjai

Kompas.com - 03/10/2016, 16:35 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

MEDAN, KOMPAS.com - Saat senja berganti malam, saya dan teman-teman tiba di Kota Binjai, Sumatera Utara. Kota yang terkenal dengan Kota Rambutan ini hanya berjarak sekitar 45 menit dari Kota Medan kalau tidak macet.

Kota Binjai diapit dua kabupaten tetangga yaitu Deli Serdang dan Langkat. Jadi, kalau Anda hendak menuju Langkat dan Aceh, mesti melewati kota kecil ini.

Tujuan awal perjalanan kami ke sini, ingin menikmati malam tapi tidak jauh-jauh dari Kota Medan. Apalagi saat ini sedang musim rambutan. Gerbang selamat datang berlambang rambutan merah diterangi cahaya lampu yang cantik menyambut kami.

Saat menyusuri Jalan Soekarno Hatta yang aspalnya baru saja disapu hujan, pantulan cahaya warna-warni lampu hias berkelap-kelip yang tertata disetiap sudut-sudut jalan, semakin menambah cantik kota.

Belum selesai mengagumi gemerlap cahaya, kami disuguhi pemandangan yang lebih menarik. Deretan pedagang rambutan di kanan-kiri jalan. Beratap terpal warna merah, rambutan yang sudah diikat dengan berbagai ukurun disusun rapi, di bawah sinar lampu.

KOMPAS.com/MEI LEANDHA Tugu rambutan pertanda Anda memasuki Kota Binjai, di Sumatera Utara.
Melihat buah rambutan merah ranum, siapa yang bisa menahan selera untuk tidak mencicipinya. Apalagi rambutan Binjai atau rambutan Brahrang terkenal seantero Indonesia dengan buahnya yang manis, legit, dagingnya tebal dan lekang.

"Berapa seikat, kak?" tanya saya kepada seorang pedagang.

"Ikat besar Rp 15.000, yang kecil Rp 10.000," kata kakak penjual dengan ramah.

Dia kelihatan sangat senang ketika kami mengabadikan dagangannya. Kami membeli tiga ikat besar, lalu berebut memakanya.

Wuih, segarnya... Saya suka manisnya, biasanya kalau musim rambutan begini, ibu saya membeli banyak lalu mengupasnya dan menyimpannya di kulkas. Rasanya lebih enak ketika dingin. Kalau sedang panen raya, harga per ikatnya malah bisa separuh harga di atas, apalagi kalau membelinya di pasar tradisional.

Sambil membawa sisa rambutan, kami menuju Pasar Kaget di Jalan Bangkatan atau Jalan Jenderal Ahmad Yani Binjai. Ini pasar isinya jejeran tenda-tenda pedagang makanan dan minuman segala jenis rupa yang buka hanya pada malam hari hingga menjelang dini hari saja.

Pedagangnya mulai etnis Tionghoa, Tamil dan pribumi. Kalau pagi, kawasan ini adalah deretan toko-toko yang didominasi pedagang etnis Tionghoa dan Tamil. Mereka berdagang kelontong dan alat-alat olah raga.

KOMPAS.com/MEI LEANDHA Jalan ini kalau malam berubah bentuk menjadi Pasar Kaget, di Binjai, Sumatera Utara. Isi pasar ini penuh makanan yang layak untuk dicicipi.
Teman saya mencoba seporsi sate padang seharga Rp 15.000, saya mencicipi sepiring mi rebus yang pedagangnya orang Tamil seharga Rp 8.000. Teman yang lain mencoba seporsi kodok hijau goreng. Koki yang memasaknya begitu piawai dan cekatan memasak kodok goreng.

Aroma bawang putih dan racikan bumbu lain terbang menusuk hidung, menggoda dan memastikan kelezatan, dan memang betul. Rasanya enak, dagingnya empuk, seperti makan burung goreng, harganya Rp 35.000.

Peminat makanan ini saya lihat kebanyakan anak-anak muda Tionghoa. Mereka menyakini kodok bisa menyembuhkan banyak penyakit.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com