MEDAN, KOMPAS.com - Saat senja berganti malam, saya dan teman-teman tiba di Kota Binjai, Sumatera Utara. Kota yang terkenal dengan Kota Rambutan ini hanya berjarak sekitar 45 menit dari Kota Medan kalau tidak macet.
Kota Binjai diapit dua kabupaten tetangga yaitu Deli Serdang dan Langkat. Jadi, kalau Anda hendak menuju Langkat dan Aceh, mesti melewati kota kecil ini.
Tujuan awal perjalanan kami ke sini, ingin menikmati malam tapi tidak jauh-jauh dari Kota Medan. Apalagi saat ini sedang musim rambutan. Gerbang selamat datang berlambang rambutan merah diterangi cahaya lampu yang cantik menyambut kami.
Saat menyusuri Jalan Soekarno Hatta yang aspalnya baru saja disapu hujan, pantulan cahaya warna-warni lampu hias berkelap-kelip yang tertata disetiap sudut-sudut jalan, semakin menambah cantik kota.
Belum selesai mengagumi gemerlap cahaya, kami disuguhi pemandangan yang lebih menarik. Deretan pedagang rambutan di kanan-kiri jalan. Beratap terpal warna merah, rambutan yang sudah diikat dengan berbagai ukurun disusun rapi, di bawah sinar lampu.
"Berapa seikat, kak?" tanya saya kepada seorang pedagang.
"Ikat besar Rp 15.000, yang kecil Rp 10.000," kata kakak penjual dengan ramah.
Dia kelihatan sangat senang ketika kami mengabadikan dagangannya. Kami membeli tiga ikat besar, lalu berebut memakanya.
Wuih, segarnya... Saya suka manisnya, biasanya kalau musim rambutan begini, ibu saya membeli banyak lalu mengupasnya dan menyimpannya di kulkas. Rasanya lebih enak ketika dingin. Kalau sedang panen raya, harga per ikatnya malah bisa separuh harga di atas, apalagi kalau membelinya di pasar tradisional.
Sambil membawa sisa rambutan, kami menuju Pasar Kaget di Jalan Bangkatan atau Jalan Jenderal Ahmad Yani Binjai. Ini pasar isinya jejeran tenda-tenda pedagang makanan dan minuman segala jenis rupa yang buka hanya pada malam hari hingga menjelang dini hari saja.
Pedagangnya mulai etnis Tionghoa, Tamil dan pribumi. Kalau pagi, kawasan ini adalah deretan toko-toko yang didominasi pedagang etnis Tionghoa dan Tamil. Mereka berdagang kelontong dan alat-alat olah raga.
Aroma bawang putih dan racikan bumbu lain terbang menusuk hidung, menggoda dan memastikan kelezatan, dan memang betul. Rasanya enak, dagingnya empuk, seperti makan burung goreng, harganya Rp 35.000.
Peminat makanan ini saya lihat kebanyakan anak-anak muda Tionghoa. Mereka menyakini kodok bisa menyembuhkan banyak penyakit.