Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Cheonggye ke Ciliwung

Kompas.com - 04/10/2016, 20:32 WIB

Dengan alasan keamanan, pemerintah menutup jalur layang untuk kendaraan berat sejak tahun 1997. Ketika itu, ongkos pemeliharaannya mencapai 50 juta dollar AS.

Berikutnya, seiring dengan perubahan paradigma, yakni menjadi pembangunan yang mengutamakan keseimbangan lingkungan alam, akhirnya menggiring pada keputusan membongkar jalan layang.

Keputusan merestorasi Cheonggye lahir pada Juli 2002 di era Wali Kota Lee Myung-baak. Sesuai panjang aliran yang direstorasi, yakni 5,84 kilometer, proyek itu dinamai ”Revolusi 5,8 Km”. Sebuah proyek ambisius mengembalikan wajah sungai dari jalan layang menjadi area publik yang hijau.

Sungai Cheonggye hasil restorasi mengalir dari daerah Gwanghwamun di barat ke Dongdaemun di timur. Total ada 22 jembatan melintang di atas sungai ini dan tujuh jembatan di antaranya dikhususkan bagi pejalan kaki. Cheonggye menjadi ikon rujukan soal restorasi.

Namun, pro dan kontra selalu ada. Penolakan, misalnya, muncul karena proyek menyedot anggaran besar (386 juta dollar AS), memicu masalah sosial, serta perdebatan soal kapasitas jalan yang berkurang dan risiko gangguan terhadap sektor usaha yang mengandalkan akses jalan layang itu.

Kritik juga dilontarkan lantaran Cheonggye baru tidak benar-benar alami. Sebab, air Cheonggye dipompa dan dialirkan dari Sungai Han.

Namun, sederet keuntungan kini dinikmati warga Seoul, kota seluas 605 kilometer persegi dan penduduk lebih dari 10 juta jiwa, nyaris sebanding dengan Jakarta.

Selain ruang publik dan hijau, perombakan Cheonggye diklaim menurunkan suhu, rata-rata suhu di aliran Cheonggye 3,6 derajat celsius lebih rendah dibandingkan jalan raya yang 36,3 derajat celsius pada musim panas. Cheonggye juga jadi tempat rekreasi warga kota sekaligus turis mancanegara.

Ciliwung

Cerita Cheonggye ”mengalir” ke Sungai Ciliwung di Jakarta. Pada 3 Desember 2012, Menteri Lingkungan Hidup RI ketika itu, Balthasar Kambuaya, bersama Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Kim Yeong meletakkan batu pertama di halaman Masjid Istiqlal, tanda dimulainya restorasi.

Proyek di Ciliwung, sepanjang 470 meter antara Istiqlal dan Pasar Baru, diharapkan jadi contoh pemulihan sungai-sungai di Jakarta.

Selain mengeruk lumpur dan mengangkut sampah, pemulihan Ciliwung ditempuh dengan membangun instalasi pengolahan limbah dan pusat pendidikan lingkungan bagi masyarakat. Namun, jalan masih panjang. Cita-cita belum terwujud.

Upaya membenahi sungai-sungai di Jakarta yang oleh pemerintah pusat dan DKI Jakarta disebut sebagai normalisasi kini masih menuai pro dan kontra. Terutama terkait penggusuran kampung padat di bantaran demi menambah lebar sungai dan mencegah banjir. Selain penggusuran, pilihan pemerintah untuk membeton sebagian bantaran juga dikritik.

Wisata jalan kaki

Di sisi lain, masalah mendasar seperti penataan sistem drainase dan pembuangan sampah belum tersentuh. Sungai di Jakarta, termasuk Ciliwung, masih jadi tempat pembuangan berbagai limbah warga dan industri.

Pembenahan sungai yang tepat, selain membenahi seluruh sistem fasilitas publik perkotaan dan melestarikan lingkungan, juga bisa memutar perekonomian.

Seoul, misalnya, memiliki jaringan jalur pejalan kaki yang menghubungkan hampir semua sudut kotanya, termasuk di sepanjang sungai. Banyak paket wisata di mana wisatawan bisa menikmati banyak obyek menarik dengan berjalan kaki.

Dari situs bersejarah, galeri dan museum, seni warisan budaya, taman, bangunan penanda kota, pusat belanja dan kuliner, hingga lokasi shooting film atau drama, semua bisa dicapai dengan berjalan kaki.

”Anda bisa mencapainya dengan jalan kaki, tetapi dengan subway juga oke, lanjut jalan kaki ratusan meter dari stasiun,” ujar Su Heon-kim (27), pemandu wisata, menjelaskan cara menjangkau Cheonggyecheon dan Dongdaemun dari Hoehyeon, Minggu (28/8/2016).

Tak salah pemerintah metropolitan Seoul menawarkan paket-paket tur wisata dalam kota dengan berjalan kaki. Ada belasan paket ditawarkan dengan durasi perjalanan 2-3,5 jam dengan tujuan, antara lain, Istana Deoksugung, Gyeongbokgung, Museum Nasional, dan kawasan Sungai Cheonggyecheon.

Selain jalan kaki, beberapa paket mengombinasikan perjalanan dengan jalan kaki dan bus kota. Warga setempat dan turis pun terbiasa berjalan kaki di kota ini. Selain menekan ongkos perjalanan, berjalan kaki tentu mendongkrak kesehatan masyarakat.

Di Jakarta, kini, dengan fasilitas yang masih jauh dibanding Seoul, jaringan bus transjakarta beserta jaringan pengumpannya dan kereta api sudah cukup terintegrasi. Sesekali mencoba berwisata dengan angkutan publik ini tentu tidak ada salahnya. Siapa tahu bisa jadi kebiasaan baru warga Ibu Kota. (MUKHAMAD KURNIAWAN)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Oktober 2016, di halaman 28 dengan judul "Dari Cheonggye ke Ciliwung".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com