PARIWISATA mengubah wajah perkampungan kopi di kaki Gunung Ijen, Banyuwangi. Perkampungan yang dulu sepi kini menjadi pusat ekonomi baru. Petani bangga menjadi tuan rumah di ladang sendiri.
Aroma harum kopi menyebar di sepanjang jalan utama di Dusun Lerek, Kelurahan Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pada Selasa (6/9/2016) pagi itu, warga Dusun Lerek mulai menyeduh bercangkir-cangkir kopi panas untuk pengunjung di Festival Kembang Kopi di desanya. Di festival itu, kopi lerek diperkenalkan.
Warga menyebutnya kopi lego, kepanjangan dari Lerek-Gombengsari, tempat pohon kopi itu tumbuh. Jenisnya adalah robusta. Kopi itu disangrai di tungku batu bata dengan wajan tembikar.
Warga masih menggunakan kayu bakar untuk perapiannya. Cara tradisional itu dipertahankan sampai sekarang sebagai ciri khas kopi Lerek-Gombengsari.
Selasa lalu, festival kecil yang mereka adakan menarik wisatawan. Dua di antaranya turis asal New York, Amerika Serikat, Sinead Mc Dermott (33) dan Ashley Fedora (32). Kedua turis itu awalnya hanya ingin pergi ke Gunung Ijen. Namun, karena bertepatan dengan festival kopi, mereka pun mampir.
Sebagai penggemar kopi, keduanya bersemangat memetik kopi dari pohon bersama warga dan pengunjung lain. Mereka juga mencoba menyangrai kopi di wajan gerabah dan menumbuknya di lumpang. Di dusun itu mereka menemukan petualangan baru yang tak didapati di New York.
”Selama ini, kami minum kopi tetapi tak pernah tahu seperti apa pohon kopi itu. Ini menyenangkan,” kata Sinead.
Wisata baru
Wisata kopi menjadi lahan ekonomi baru bagi warga di Gombengsari. Sebelumnya, mereka hanya mengandalkan hasil dari panen kopi. Muhammad Taufik (37), anggota Kelompok Tani Kopi Rejosari di Gombengsari, mengatakan, selama turun-temurun, mereka hanya tahu cara merawat kopi. Namun, mereka tidak pernah tahu cara menjualnya.
Soal harga, mereka pasrah kepada pembeli atau pengepul. Harga per kilogram kopi robusta kering, misalnya, dipatok Rp 25.000. Ketika terpaksa menjual dengan cara ijon, kopi mereka hanya dihargai Rp 5.000 per kilogram.
Fatimah (39), misalnya, hanya menerima uang Rp 12 juta-Rp 15 juta bersih setiap tahun dari panen kopi di lahan seluas seperempat hektar miliknya.
Artinya, setiap bulan ia hanya mengantongi uang sekitar Rp 1 juta untuk biaya hidup lima anggota keluarganya. Dengan demikian, saat ada kebutuhan mendesak, Fatimah terpaksa menjual kopi secara ijon.
”Kalau sudah dijual secara ijon, setiap panen saya hanya bisa gigit jari,” kata Fatimah.
Kondisi itu berlangsung terus-menerus. Sampai tahun lalu, warga menemukan sumber ekonomi baru setelah pariwisata Banyuwangi tumbuh. Gombengsari dijadikan sebagai tempat wisata memetik kopi oleh penggiat wisata di Banyuwangi.