Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jongkie Tio, "Pendongeng" Tionghoa Peranakan

Kompas.com - 25/10/2016, 10:03 WIB

NAMA Jongkie Tio (75) alias Daddy Budiarto lekat dengan sejarah Kota Semarang, Jawa Tengah. Siapa pun yang tertarik menyelisik lebih jauh budaya kota tersebut, khususnya terkait Tionghoa peranakan, sebaiknya menemui pendongeng itu.

Jongkie Tio menolak disebut sejarawan dan memilih menjadi pendongeng. Dia runtut bercerita soal kehidupan dan budaya Tionghoa peranakan yang tumbuh bersama warga kota pesisir pantura Jawa.

Jika ingin mendengar ”dongeng” Tionghoa peranakan dan melihat langsung bukti-buktinya, temuilah Jongkie di Restoran Semarang International Family & Garden miliknya di Jalan Gajah Mada, Kota Semarang.

(BACA: Ternyata Ini Sejarah Pasar Sentiling di Festival Kota Lama Semarang)

Restoran itu menyediakan tiga menu andalan, yakni lunpia, wedang ronde, dan lontong cap go meh. Kepada para tamunya, ia selalu menjelaskan bahwa tiga menu yang mereka makan itu adalah bukti akulturasi budaya Jawa dan etnis Tionghoa dalam kurun masa yang panjang.

Lontong cap go meh, misalnya, merupakan adaptasi dari ketupat opor ayam yang biasa disantap warga Muslim Jawa pada bodo kupat (perayaan lebaran ketupat sepekan setelah Idul Fitri).

Belakangan, lanjut Jongkie, etnis Tionghoa peranakan membuat lontong cap go meh yang disantap sebagai jamuan pada perayaan Imlek. Boleh dikata, lontong ini adalah saudara muda ketupat opor ayam. Dua menu lain juga lahir dari proses akulturasi budaya.

(BACA: Cocok untuk Penggemar "Selfie", 3D Trick Art Museum Pilihan Berwisata di Kota Lama Semarang)

Jejak pergumulan budaya yang panjang itu terpelihara di Semarang sampai sekarang, antara lain dalam bentuk makanan, gaya rumah, tradisi dugderan, gambang semarang, seni pahat warag, dan masih banyak lagi.

Menurut Jongkie, proses akulturasi itu terjadi, antara lain, karena berbagai etnis di Semarang hidup berdampingan.

Sekitar tahun 1743, lanjut Jongkie, etnis Tionghoa peranakan dikarantina oleh penguasa kolonial Belanda menyusul pemberontakan di Batavia. Mereka dimukimkan di kampung pecinan yang letaknya di dekat Kota Lama dan kampung kauman di Semarang. Sebagian dari mereka lantas menyebar dan hidup satu kampung dengan etnis lain.

Hidup bersama dan berdampingan membuat setiap etnis mengembangkan sikap toleransi, saling memahami, saling berbagi. Ketika warga Muslim di Jawa merayakan bodo kupat, contohnya, mereka mengirimkan opor ayam sambel goreng ati kepada tetangga etnis Tionghoa. Dari situ, etnis Tionghoa terinspirasi mengadaptasi opor ayam menjadi lontong cap go meh.

Menyelisik sejarah

Jongkie mengatakan, selama bertahun-tahun dirinya menggali sejarah dan budaya peranakan Kota Semarang. Ia melihat banyak hal di kota itu yang memperlihatkan unsur budaya Tionghoa yang kental.

Maklum, etnis ini memang telah lama bermukim di kota tersebut. Sejumlah literatur menyebutkan, mereka sudah hadir di sana sejak tahun 400-600 Masehi.

Etnis Tionghoa sejak dulu senang bermukim di Semarang karena kota itu merupakan bandar terbesar di Jawa sejak divisi dagang Belanda memindahkan pelabuhan dari Tuban ke Semarang.

Kota itu dianggap memiliki peruntungan sebagai tempat tinggal dan berdagang karena bentuknya yang mirip dengan mulut naga. Di bagian atas (selatan), kota ini dikelilingi pegunungan. Sementara bagian bawah (utara) berbentuk melebar layaknya mulut naga.

”Kalau mau membuktikan betapa kota ini punya peruntungan karena dikelilingi gunung, silakan naik perahu, lalu ke tengah laut di perairan Semarang. Kalau cuaca cerah, bisa dilihat kota ini dikepung tujuh gunung, mulai dari Gunung Ungaran, Telomoyo, Merbabu, Merapi, Sindoro, Sumbing, sampai Gunung Muria,” ujar Jongkie saat ditemui pada pertengahan September lalu.

Jongkie sudah berhubungan dengan sejarah sejak kecil. Maklum, ayahnya memiliki toko barang antik dan toko buku. Saat remaja, bocah itu gemar memotret. Saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tahun 1965, ia menyadari pentingnya foto sebagai sarana dokumentasi.

Dengan kamera, Jongkie kemudian memilih mengabadikan seluk-beluk masa lalu Kota Semarang, seperti bangunan tua, benda-benda kuno, atau obyek-obyek khas lain. Secara khusus, ia juga belajar sejarah dari berbagai sumber, termasuk pergi ke Belanda demi meng-oprek-oprek dokumen di beberapa universitas di sana.

Sebagaimana ayahnya, ia juga mengembangkan bisnis barang antik. Namun, tahun 2000, toko itu tutup. Ia pun beralih membantu mengelola restoran milik istrinya. Dalam peralihan itu, Jongkie tetap mendalami sejarah dan budaya peranakan Semarang.

Pengetahuan itu tak disimpan untuk diri sendiri. Ia ”mendongengkan”-nya kepada siapa saja yang tertarik, termasuk mahasiswa, peneliti, wartawan, atau turis. Bersama sahabatnya, Amen Budiman, Jongkie menerbitkan catatannya dalam buku Kota Semarang dalam Kenangan (tahun 2002).

Ia lantas menulis buku kedua berjudul sama yang memuat 287 foto tua. Dokumen itu mengisahkan kawasan pecinan, hikayat Kota Semarang, sudut-sudut Semarang lama, dan bangunan-bangunan kuno di Kota Lama yang dijuluki ”Netherland Kecil”. Sebagian foto ia peroleh dari Belanda. Yang tertua bertahun 1880-an.

Midden Java Reunie

Sejumlah kolega Jongkie membawa buku tersebut (dalam versi berbahasa Inggris) ke Belanda untuk mempromosikan Semarang. Belakangan, sejumlah tokoh Belanda berinisiatif membuat program Midden Java Reunie pada pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an. Program ini ditujukan bagi orang-orang Belanda yang pernah bertugas di Semarang.

Selama delapan tahun, kunjungan turis asal Belanda ke Semarang terdongkrak. Mereka bernostalgia, bertemu kenalan, menikmati suasana, atau napak tilas.

Namun, saat di sini, mereka tidak tahu mesti berkunjung ke mana saja. Akhirnya mereka dibawa ke restoran Jongkie untuk menikmati makanan khas Semarang sembari mendengarkan ”dongeng sejarah”.

Program itu rata-rata diikuti lebih dari 100 orang. ”Mereka sudah tua, tapi selalu didampingi anak-anak, saudara, atau cucunya. Mereka senang berada di Kota Semarang. Setiap mampir di restoran saya, mereka memperoleh cerita sejarah,” katanya. Sebaliknya, Jongkie mendapatkan cerita versi mereka.

Sayang, program Midden Java Reunie tak berjalan lagi setelah para perintisnya kian renta atau meninggal. Jongkie berharap Pemerintah Kota Semarang dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengambil peran lebih besar untuk mengembangkan program wisata sejarah.

Program itu penting bukan semata untuk mendulang uang, melainkan juga menguatkan identitas Semarang. Bangunan-bangunan kuno di kota itu juga pasti akan lebih terpelihara. Jongkie sedih karena hanya 30 persen dari banyak rumah khas cina di pecinan Semarang yang masih tersisa.

Sambil menunggu inisiatif pemerintah, Jongkie bergerak membina anak-anak muda untuk mengenal Kota Semarang. Mereka diajak belajar sejarah dan budaya sambil berwisata menyusuri kawasan pecinan, Kota Lama, dan kampung-kampung asli kota itu. (WINARTO HERUSANSONO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Oktober 2016, di halaman 16 dengan judul "Pendongeng" Tionghoa Peranakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 7 Olahraga Tradisional Unik Indonesia, Ada Bentengan

7 Olahraga Tradisional Unik Indonesia, Ada Bentengan

Jalan Jalan
5 Tips Liburan dengan Anak-anak Menggunakan Kereta Api Jarak Jauh

5 Tips Liburan dengan Anak-anak Menggunakan Kereta Api Jarak Jauh

Travel Tips
Mengenal Desa Wisata Koto Kaciak, Surga Budaya di Kaki Bukit Barisan

Mengenal Desa Wisata Koto Kaciak, Surga Budaya di Kaki Bukit Barisan

Jalan Jalan
Aktivitas Wisata di Bromo Ditutup mulai 25 April 2024, Ini Alasannya

Aktivitas Wisata di Bromo Ditutup mulai 25 April 2024, Ini Alasannya

Travel Update
Bali Jadi Tuan Rumah Acara UN Tourism tentang Pemberdayaan Perempuan

Bali Jadi Tuan Rumah Acara UN Tourism tentang Pemberdayaan Perempuan

Travel Update
Hari Kartini, Pelita Air Luncurkan Penerbangan dengan Pilot dan Awak Kabin Perempuan

Hari Kartini, Pelita Air Luncurkan Penerbangan dengan Pilot dan Awak Kabin Perempuan

Travel Update
Usung Konsep Eco Friendly, Hotel Qubika Bakal Beroperasi Jelang HUT Kemerdekaan RI di IKN

Usung Konsep Eco Friendly, Hotel Qubika Bakal Beroperasi Jelang HUT Kemerdekaan RI di IKN

Hotel Story
Ada Women Half Marathon 2024 di TMII Pekan Ini, Pesertanya dari 14 Negara

Ada Women Half Marathon 2024 di TMII Pekan Ini, Pesertanya dari 14 Negara

Travel Update
5 Tempat Wisata di Tangerang yang Bersejarah, Ada Pintu Air dan Makam

5 Tempat Wisata di Tangerang yang Bersejarah, Ada Pintu Air dan Makam

Jalan Jalan
Dampak Rupiah Melemah pada Pariwisata Indonesia, Tiket Pesawat Mahal

Dampak Rupiah Melemah pada Pariwisata Indonesia, Tiket Pesawat Mahal

Travel Update
4 Tempat Wisata di Rumpin Bogor Jawa Barat, Ada Curug dan Taman

4 Tempat Wisata di Rumpin Bogor Jawa Barat, Ada Curug dan Taman

Jalan Jalan
Rusa Jadi Ancaman di Beberapa Negara Bagian AS, Tewaskan Ratusan Orang

Rusa Jadi Ancaman di Beberapa Negara Bagian AS, Tewaskan Ratusan Orang

Travel Update
5 Rekomendasi Playground Indoor di Surabaya untuk Isi Liburan Anak

5 Rekomendasi Playground Indoor di Surabaya untuk Isi Liburan Anak

Jalan Jalan
Pilot dan Pramugari Ternyata Tidur pada Penerbangan Jarak Jauh

Pilot dan Pramugari Ternyata Tidur pada Penerbangan Jarak Jauh

Travel Update
Desa Wisata Tabek Patah: Sejarah dan Daya Tarik

Desa Wisata Tabek Patah: Sejarah dan Daya Tarik

Jalan Jalan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com