Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Subak, Memuliakan Peradaban

Kompas.com - 01/11/2016, 09:14 WIB

SUATU siang menjelang sore di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, pertengahan bulan ini. Sinar matahari yang terik membuat udara terasa panas meskipun angin bertiup sepoi-sepoi.

Beberapa rombongan wisatawan mancanegara bersemangat menyusuri jalan menurun di tengah hamparan sawah. Mereka mengenakan sepatu kets dan tas punggung.

Jalan itu bukan pematang sawah yang sempit. Ukurannya cukup lebar ‎sehingga wisatawan bisa berjalan dengan nyaman berkilo-kilometer, mengikuti kontur sawah yang menurun hingga mencapai pura kecil di dasar persawahan.

Para wisatawan mancanegara penasaran dengan subak, sistem pengelolaan air untuk persawahan di Bali, yang tak hanya meliputi pengairan tetapi juga melibatkan ritual adat dan merangkul peran komunitas.

Rafael, wisatawan asal Polandia, merasa nyaman berada di hamparan sawan. Peluhnya bercucuran. Ia menikmati perjalanan. ”Subak terkenal di dunia. Saya suka sawah, tidak ke pantai,” ucapnya.

(BACA: Jatiluwih Jadi Ikon Pariwisata Tabanan)

Sawah di Jatiluwih memang memesona. Ratusan wisatawan mendatangi Jatiluwih saban hari. ”Pemandangan sawah di sini memang diburu wisatawan,” kata Made Kanti, pemandu wisata yang mengantar Rafael dan temannya ke Jatiluwih, pertengahan Oktober 2016.

Ketut, penjaga karcis di Subak Jatiluwih, mengatakan, setiap hari, 200-300 wisatawan mancanegara datang. Jumlahnya melonjak pada Juni-Agustus, mencapai hingga lebih dari seribu orang per hari. Jumlah itu belum ditambah dengan wisatawan dalam negeri.

Mendunia

Cerita subak mendunia karena menjadi situs warisan dunia yang dicatatkan di UNESCO pada 2012. Subak yang ditetapkan adalah Subak Jatiluwih dan belasan subak lain yang masuk dalam kawasan Catur Angga Batukaru.

KOMPAS/AGUS SUSANTO Sistem pengairan subak dan terasering serta pupuk organik dari kotoran hewan diterapkan di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, Rabu (2/2/2011).
Subak-subak itu berlokasi di Kabupaten Tabanan dan Buleleng. Pekaseh (Ketua) Subak Jatiluwih I Nyoman Sutama menjelaskan, penetapan Subak Jatiluwih sebagai situs warisan budaya dunia mendorong kunjungan wisatawan ke desa-desa bersubak. Jatiluwih juga menjadi lokasi riset dan studi lapangan peneliti dalam dan luar negeri.

(BACA: Laklak Pisang, 'Crepe' Asli Tabanan yang Terancam Punah)

Persoalan subak mengemuka dalam Forum Budaya Dunia (WCF) 2016 di Nusa Dua, Bali, 10-14 Oktober. Para pembicara dan delegasi dari puluhan negara datang ke Jatiluwih untuk melihat langsung subak. Pembahasan subak dikaitkan dengan ketersediaan dan fungsi air bagi kehidupan serta rekonsiliasi pertumbuhan sosio-ekonomi dengan etika lingkungan.

Semua pihak sepakat, subak harus dipertahankan. Namun, diakui tantangan yang dihadapi subak kian besar. Subak-subak terancam proyek pembangunan yang menuntut alih fungsi lahan pertanian. Pasokan air untuk pertanian yang menyusut juga menggelisahkan. ”Sawah seperti berebut air dengan permukiman,” tutur Sutama.

Di Jatiluwih, lahan pertanian mendapat pasokan air dari sejumlah sungai yang mengalir di Tabanan, antara lain Yeh Pusut, Yeh Baas, dan Yeh Ho. Air irigasi dibagi untuk mengairi tujuh kelompok subak di Jatiluwih, antara lain Subak Kedamian, Umaduwi, Kesambi, Besi Kalung, dan Gunung Sari. Luas sawah di Subak Jatiluwih mencapai 303 hektar dengan 217 anggota.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com