Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Subak, Memuliakan Peradaban

Kompas.com - 01/11/2016, 09:14 WIB

Penyusutan pasokan air membuat Ketut, warga Tabanan, mempertanyakan keberlangsungan pertanian di Bali. ”Hanya sawah yang kami punya. Namun, apakah sawah bisa menghidupi? Kami tanam padi di 50 are (satu are setara 100 meter persegi), paling banyak mendapat Rp 20 juta. Itu untuk hidup empat bulan. Menjadi petani berat,” papar karyawan swasta yang mewarisi sedikit lahan sawah dari ayahnya.

Kaum muda

Pengurus Kelompok Subak Umaduwi di Jatiluwih I Nyoman Suryanata khawatir pertanian kehilangan generasi penerus. Kaum muda semakin jarang bekerja di sawah karena bertani dinilai kurang bergengsi.

”Apakah ada anak-anak yang mau menjadi petani?” ujar Suryanata dalam forum sosialisasi tentang kearifan subak yang diselenggarakan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Kantor Desa Jatiluwih, dua pekan silam.

Peserta kegiatan sosialisasi yang mayoritas adalah pelajar sekolah menengah atas di Penebel, Tabanan, terdiam, entah karena bimbang atau bingung untuk menjawab pertanyaan itu.

Kepentingan pariwisata hanya salah satu penopang yang bisa mencegah petani ‎untuk menjual lahan. Namun, berapa rupiah dari wisatawan yang masuk ke kantong petani?

Mungkin tinggal nilai-nilai kearifan dan sejarah yang mampu membuat anak muda mau mempertahankan subak. Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional I Made Geria menyatakan, Jatiluwih tak hanya memiliki subak, tetapi juga warisan budaya megalitikum dari masa perundagian. Warisan budaya megalitikum ini masih disakralkan karena berfungsi dalam pemujaan.

Peninggalan itu juga memiliki makna kearifan dalam pengelolaan sumber daya lingkungan. ”Masyarakat mewarisi, memelihara, dan memanfaatkan tradisi itu untuk melestarikan lingkungan,” kata Geria. (Cokorda Yudistira/Susi Ivvaty)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Menjaga Subak, Memuliakan Peradaban".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com