WAKATOBI, KOMPAS.com - Peluh bercucuran menderasi paras dan tubuh Aljefri Febrizarli. Kaos putih yang dikenakannya terlihat basah. Namun, pemuda rupawan itu tetap asyik mencoba "mesin" tenun ikat tradisional milik Rusnia.
Meski tampak kepayahan, Aljefri menikmati pengalaman yang sama sekali baru baginya itu, yakni menenun kain ikat Ragi dan Laga. Kain ikat ini merupakan kain khas tradisional Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
"Susah, dan harus teliti. Kapan harus memasukkan benang, kapan menariknya, harus diperhitungkan," ujar Aljefri menceritakan kesannya kepada Kompas.com, saat melakoni kegiatan menenun sebagai bagian dari kegiatan Ekowisata yang digelar Synthesis Development bersama WWF Indonesia pada 31 Oktober-4 November 2016.
Rusnia, penenun kain ikat Ragi dan Laga, memaklumi debut Aljefri. Menurut dia, untuk menjadi penenun mahir, butuh waktu bertahun-tahun.
(Baca: “Surga” Wakatobi Tak Melulu Bahari)
Bisa dan terampil saja tidak cukup. Penenun harus mengimbanginya dengan kesabaran, ketekunan, dan selera menciptakan motif kain yang berbeda.
Masalah selera ini, kata Rusnia, terbentuk dari ketajaman mengasah dan menggali inspirasi, juga pandangannya tentang estetika.
"Kami memakai pewarna alami. Bukan pewarna pabrik. Jadi, tidak akan luntur sampai kain robek-robek pun," kata perempuan paruh baya tersebut.
Pewarna alami yang dimaksud Rusnia berasal dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di sekitar rumah. Sebut saja tarum atau indigofera tinctoria, yang menghasilkan warna biru setelah daunnya direndam semalaman.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.