JAKARTA, KOMPAS.com - Djuhariah alias Yu Djum (85) adalah salah satu penjual gudeg ikonik di Yogyakarta. Yu Djum merintis gerai gudegnya pada tahun 1950, bertempat di Karangasem yang dekat dengan Universitas Gajah Mada (UGM).
Gudeg buatannya selalu jadi favorit warga Yogyakarta. Orang Jawa mana yang tak suka gudeg dengan rasa manis yang nendang, serta olahan telur rebus yang bumbunya meresap sempurna?
Wafatnya Yu Djum bisa disebut hilangnya salah satu ikon kuliner legendaris di Yogyakarta. Meski begitu, eksistensi gudeg sebagai masakan istimewa dan khas Yogyakarta tak lantas hilang.
"Gudeg sebetulnya sudah ada sejak Yogyakarta pertama dibangun," tutur Murdijati Gardjito, seorang profesor sekaligus peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional (PMKT), Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM kepada KompasTravel, Rabu (16/11/2016).
Waktu itu sekitar abad ke-16. Para prajurit Kerajaan Mataram membongkar hutan belantara untuk membangun peradaban yang kini terletak di kawasan Kotagede. Ternyata di hutan tersebut, Murdijati berkisah, terdapat banyak pohon nangka dan kelapa.
Proses memasak gudeg tersebut mereka sebut hangudek, alias mengaduk. Dari hangudek, terciptalah makanan yang kemudian disebut gudeg.
Dari 'makanan tidak sengaja' yang diciptakan para prajurit Mataram, gudeg kini menjadi ikon sekaligus identitas Yogyakarta. Ketenaran gudeg dimulai dari keluarga para prajurit mataram, kemudian melebar ke masyarakat luas.
"Masyarakat melihat gudeg itu sebagai makanan yang fleksibel. Bisa dikombinasikan hanya dengan tempe, tahu, bahkan hanya gudeg dengan areh (kuah) saja sudah bisa untuk makan. Warga yang punya uang bisa menyantapnya dengan telur atau ayam," papar Murdijati.
Itulah mengapa gudeg menjadi makanan favorit berbagai kalangan masyarakat. Apalagi, menurut Murdijati, gudeg menjadi komoditi yang bisa disatukan dalam satu tempat.
Buktinya adalah Jalan Wijilan. Mulai tahun 1970-1980an, saat Yogyakarta mulai digalakkan sebagai kawasan pariwisata, Jalan Wijilan dijadikan sentra gudeg khas Yogyakarta. Di jalan inilah Yu Djum dan para penjual gudeg lainnya membuka lapak.
"Tiap penjual memiliki pangsa pasarnya sendiri. Ada pelanggannya sendiri. Mereka tidak takut kehilangan pembeli karena bicara soal gudeg berarti bicara soal selera," tutur Murdijati.
Itulah mengapa sepiring gudeg, dengan beragam lauk yang bisa dipilih, selalu menempati ruang khusus di lambung warga Yogyakarta. Seporsi gudeg selalu bisa dinikmati baik untuk sarapan, makan siang, hingga makan malam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.