Jika mempelai laki-laki berasal dari luar Alor, ia hanya bisa menyerahkan 1 moko yang dilengkapi dengan ternak peliharaan dan sarung adat Alor. Namun, belakangan ini, di kalangan suku tertentu di Alor, mas kawin moko diganti dengan uang dalam jumlah tertentu sesuai kesepakatan kedua pihak ditambah 1 moko.
Elia mengatakan, moko ditemukan oleh warga di dalam tanah, di goa, dan sebagian diyakini sebagai jelmaan dari leluhur. Karena itu, moko mendapat perlakuan khusus dari masyarakat. Moko harus ditempatkan di kamar khusus dan sering diberi sesajen.
”Rumah tempat menyimpan moko ini juga dimanfaatkan mahasiswa dan pelajar di Alor untuk belajar. Ahli-ahli dan peneliti moko melakukan studi dan mengambil data di sini. Tidak ada pungutan bagi pengunjung. Saya beri kesempatan kepada semua warga Alor untuk mengenal tradisi dan budaya mereka tanpa hambatan dan beban,” kata pemilik 258 moko ini. Elia menyimpan semua koleksi mokonya tersebut di rumah.
Tidak semua moko yang tersimpan di rumah Elia untuk dijual, terutama moko warisan Suku Tapaha. Ia biasa menjual moko hasil pembelian dari masyarakat atau yang ditemukan di goa dan di dalam tanah.
Setiap akhir Mei, Agustus, Desember, dan Februari, Elia memberi sesajen kepada moko koleksinya. Ia yakin, leluhur selalu tinggal di dalam moko itu. Ia menyembelih satu ayam jantan warna merah untuk sesajen. (KORNELIS KEWA AMA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 November 2016, di halaman 22 dengan judul "Museum 1.000 Moko bagi Generasi Muda Alor".
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.