Siang hari, beberapa komunitas menanam pohon di hutan-hutan sekitar Cikuray. Upaya ini untuk mengembalikan hutan Cikuray yang kondisinya makin memprihatinkan akibat perambahan.
Musibah banjir bandang Sungai Cimanuk di Kota Garut, 20 September lalu, tidak terlepas dari rusaknya Gunung Cikuray, Papandayan, dan Mandalagiri. Ketiga gunung itu adalah hulu sejumlah sungai yang semuanya bermuara di Cimanuk.
Bagaimana agar proses itu berlangsung terus-menerus? Di hilir, Dasep dan komunitasnya berupaya meningkatkan nilai produksi teh. Komunitas Nyaneut mengemas produksi teh kejek tradisional dengan cap Nyaneut.
Upaya itu untuk mendongkrak harga pucuk teh rakyat dari Rp 2.500, minimal menjadi Rp 3.000 per kg. Dengan harga yang baik, diharapkan warga termotivasi memelihara kebun teh. Setelah dikemas sendiri, harga teh hijau itu ternyata bisa laku Rp 15.000 per 100 gram yang dipasarkan secara daring.
Sejarah
Dalam acara pemaparan sejarah, tokoh perkebunan teh Jabar, Slamet Bangsadikusumah (70), mengatakan, para perintis kemerdekaan pernah berkumpul di perkebunan Waspada (Cigedug) untuk merancang negara Indonesia.
”Cigedug ini adalah tempat bersejarah. Tugas kita sekarang adalah melestarikan kekayaan sejarah dengan menjaga hutan-hutan Cikuray jangan sampai beralih fungsi. Tanamilah lahan-lahan kebun yang sudah kosong untuk membangun kembali sumber air,” Slamet berpesan.
Selain ahli perkebunan, ujar Kuswandi, Holle adalah praktisi pertanian yang mendidik para petani di Garut.
Holle juga ahli sejarah yang mengumpulkan riwayat situs-situs yang ada di Cikuray. Di antaranya Situs Kabuyutan Ciburuy tahun 1860 yang merupakan tempat belajar para Ksatria Sunda, pendiri cikal bakal pesantren di Priangan.
Holle memiliki sahabat, yakni Raden Brataadiwijaya, Patih Limbangan (Garut) tahun 1860, yang mengarang lagu ”Sunda Eling Eling Mangka Eling”.
Syair lagu ini pernah disimpan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, karena berisi pesan, ulah ngalajur nafsu karena raga yang bakal menderita. Kira-kira artinya, jangan korupsi!