Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nyaneut, Tradisi "Ngeteh" di Gunung Cikuray

Kompas.com - 24/12/2016, 19:14 WIB

SEBUAH gelaran festival selalu terkesan ramai dan semarak. Namun, Nyaneut Festival Garoet Mooi yang digelar di Desa Cigedug, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (29/10/2016), jauh dari kesan itu. Festival yang ditujukan untuk mempertahankan tradisi minum teh (ngeteh) di sisa-sisa perkebunan zaman Belanda ini sederhana, tetapi kaya makna.

Angin dingin serasa menusuk tulang saat Festival Nyaneut dimulai pukul 16.00 di Lapangan Situgede, Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Garut. Hujan rintik-rintik yang turun mengiringi tampilan pembuka seni tradisi Sunda, makin mendinginkan lapangan desa di kaki Gunung Cikuray ini.

Hujan makin deras saat para tokoh perkebunan teh Jawa Barat memaparkan sejarah perkebunan teh di Tatar Priangan atau Preanger Planter. Praktis di lapangan desa yang terletak pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu hanya anak-anak yang bertahan seraya bercengkerama dengan air hujan.

Mereka duduk pada terpal basah menghadap meja-meja kecil yang terbuat dari papan sederhana, tempat menghidangkan air teh. Tamu undangan lain yang didominasi warga desa, menyelamatkan diri ke rumah-rumah di ujung lapangan karena tidak tahan menahan guyuran hujan dan hawa dingin.

”Acara ini digelar seadanya karena murni dibiayai dari urunan warga Desa Cigedug,” kata Dasep Badrussalam (29), kreator sekaligus ketua panitia festival. Menurut dia, ide Festival Nyaneut berawal dari kebiasaan para orangtua dulu yang selalu membangunkan anak-anaknya pada pagi hari.

”Ulah sare wae bisa kapiheulaan ku hayam (jangan tidur melulu nanti kedahuluan kokok ayam),” demikian kebiasaan para orangtua dulu saat membangunkan anaknya agar bangun pagi. Maknanya, anak muda jangan malas bekerja dan mulailah berkreasi sejak pagi hari.

Sebelum berangkat ke kebun, para orangtua biasa mengobrol sambil minum teh. Kudapannya berupa hasil kebun, seperti singkong rebus dicampur gula merah. Ngadu bako atau ngobrol pagi dengan tetangga sambil minum teh disebut nyaneut.

Tradisi urang Sunda ini secara filosofis tidak sekadar minum teh untuk kesegaran. Namun, berisi nyandeutkeun, yakni kearifan lokal silaturahmi, sambung rasa dan membangun jaringan kekerabatan.

”Bagaimana agar kebiasaan baik itu hadir kembali di masyarakat, maka kami gelar festival ini,” ujar Dasep. Tahun 2016, festival rakyat ini menginjak tahun ketiga.

Melestarikan kebun teh

Kecamatan Cigedug dan kecamatan induknya, Bayongbong, yang berjarak 20 kilometer dari Kota Garut, pada zaman penjajahan Belanda merupakan perkebunan teh Waspada.

Tokoh perkebunan teh Jawa Barat, R Kuswandi (71), menjelaskan, kebun teh Waspada dibangun oleh Karel Frederik Holle pada tahun 1835.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perkebunan teh di kaki Gunung Cikuray ini sudah berubah menjadi perkebunan sayuran.

Auh Sahrudin (50), petani yang keluarganya turun-temurun menanam sayur menjelaskan, 80 persen kawasan di kaki Gunung Cikuray sudah jadi kebun sayur, seperti kentang, kol atau cabai.

Malah, kebun sayur itu sudah merambah ke daerah atasnya hingga 2.000 mdpl. ”Kini banyak juga petani yang menanam kayu keras di sela-sela kebun sayur. Kesadaran itu terutama terpicu oleh musibah banjir bandang Sungai Cimanuk yang meluluhlantakkan Kota Garut, 20 September lalu,” ujar Auh Sahrudin.

Alih fungsi lahan hutan yang sangat masif itu sangat memprihatinkan karena Gunung Cikuray merupakan hulu Sungai Cimanuk. Dengan adanya Festival Nyaneut diharapkan warga tergugah dan mau mempertahankan sisa-sisa perkebunan teh sebab dari sisi konservasi pohon teh lebih menahan air ketimbang tanaman sayuran.

Untuk menjalankan festival ini Dasep merangkul berbagai komunitas anak muda di kampung seperti Karang Taruna. Inti acaranya adalah menggelar tradisi minum teh sambil melihat pergelaran seni. Di dalamnya ada upaya melakukan konservasi lingkungan melalui pelestarian kebun teh.

KOMPAS/DEDI MUHTADI Festival Nyaneut Garoet Mooi digelar warga Kampung Situgede, Desa Cigedug, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (29/10/2016). Festival yang ditujukan untuk mempertahankan tradisi minum teh ("ngeteh") di sisa-sisa perkebunan zaman Belanda ini sederhana, tetapi kaya makna.

Siang hari, beberapa komunitas menanam pohon di hutan-hutan sekitar Cikuray. Upaya ini untuk mengembalikan hutan Cikuray yang kondisinya makin memprihatinkan akibat perambahan.

Musibah banjir bandang Sungai Cimanuk di Kota Garut, 20 September lalu, tidak terlepas dari rusaknya Gunung Cikuray, Papandayan, dan Mandalagiri. Ketiga gunung itu adalah hulu sejumlah sungai yang semuanya bermuara di Cimanuk.

Bagaimana agar proses itu berlangsung terus-menerus? Di hilir, Dasep dan komunitasnya berupaya meningkatkan nilai produksi teh. Komunitas Nyaneut mengemas produksi teh kejek tradisional dengan cap Nyaneut.

Upaya itu untuk mendongkrak harga pucuk teh rakyat dari Rp 2.500, minimal menjadi Rp 3.000 per kg. Dengan harga yang baik, diharapkan warga termotivasi memelihara kebun teh. Setelah dikemas sendiri, harga teh hijau itu ternyata bisa laku Rp 15.000 per 100 gram yang dipasarkan secara daring.

Sejarah

Dalam acara pemaparan sejarah, tokoh perkebunan teh Jabar, Slamet Bangsadikusumah (70), mengatakan, para perintis kemerdekaan pernah berkumpul di perkebunan Waspada (Cigedug) untuk merancang negara Indonesia.

”Cigedug ini adalah tempat bersejarah. Tugas kita sekarang adalah melestarikan kekayaan sejarah dengan menjaga hutan-hutan Cikuray jangan sampai beralih fungsi. Tanamilah lahan-lahan kebun yang sudah kosong untuk membangun kembali sumber air,” Slamet berpesan.

Selain ahli perkebunan, ujar Kuswandi, Holle adalah praktisi pertanian yang mendidik para petani di Garut.

Holle juga ahli sejarah yang mengumpulkan riwayat situs-situs yang ada di Cikuray. Di antaranya Situs Kabuyutan Ciburuy tahun 1860 yang merupakan tempat belajar para Ksatria Sunda, pendiri cikal bakal pesantren di Priangan.

Holle memiliki sahabat, yakni Raden Brataadiwijaya, Patih Limbangan (Garut) tahun 1860, yang mengarang lagu ”Sunda Eling Eling Mangka Eling”.

Syair lagu ini pernah disimpan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, karena berisi pesan, ulah ngalajur nafsu karena raga yang bakal menderita. Kira-kira artinya, jangan korupsi!

Selain merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, nafsu korupsi juga terbukti merusak lingkungan.

Dampaknya adalah banjir bandang Sungai Cimanuk yang meluluhlantakkan Kota Garut dan menewaskan lebih dari 30 warga tak berdosa. (DEDI MUHTADI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 November 2016, di halaman 22 dengan judul "Nyaneut, Tradisi "Ngeteh" di Gunung Cikuray".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com