Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trisno, "Outbound Ndeso" di Lereng Telomoyo

Kompas.com - 27/01/2017, 09:10 WIB

HINGGA tahun 2000, Desa Ngrawan, khususnya Dusun Tanon, di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, masih tertinggal. Jalan belum diaspal, penghasilan penduduk rendah, dan anak-anak yang melanjutkan sekolah sangat minim.

Desa itu menggeliat setelah warga mengembangkan ”outbound ndeso” dan wisata menari.

Geliat itu tak terlepas dari kiprah Trisno (35), pemuda asli Dusun Tanon. Pada 2005, ia menjadi orang pertama dari dusun itu yang jadi sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Trisno pernah menjadi pemandu outbound di Solo, sambil menemani istrinya, Nuryanti, bekerja di apotek. Setelah empat tahun, ia pulang ke Tanon demi memajukan kampung halamannya itu.

Menurut Trisno, lahan hortikultura di Dusun Tanon di lereng Gunung Telomoyo milik warga terbatas. Setiap warga rata-rata memiliki kurang dari 2.500 meter persegi.

”Warga banyak bertani dan beternak sapi, tapi belum memberi hasil bagus. Susu sapi dihargai rendah, kurang dari Rp 1.500 per liter. Hasil sayuran juga rendah,” ujar Kang Tris, sapaan akrab Trisno, saat ditemui di rumahnya, Senin (16/1/2017) lalu.

Saat kembali ke dusun itu, ia coba mengembangkan peternakan sapi perah. Tiap peternak memperoleh 1-2 sapi perah bantuan Dinas Peternakan Kabupaten Semarang.

Tisno juga jadi loper yang membeli susu dari petani, kemudian menyetorkannya ke koperasi.

Dengan sentuhan Trisno, produksi susu dari ternak sapi perah di kawasan itu cukup lumayan. Sebagian susu ditampung untuk diproduksi sebagai sabun susu. Ia mempekerjakan 2-3 perempuan desa yang mahir memproduksi sabun susu.

Sabun susu produksi Dusun Tanon, dengan merek Kamila, dikenal di sejumlah kota di Jawa Tengah. Dengan berbagai upaya itu, tidak heran ia menyabet penghargaan Pemuda Pelopor Bidang Peternakan Jateng tahun 2009.

Namun, usaha Trisno masih terhambat distribusi susu dari peternak sampai ke koperasi yang melewati 3-4 loper, dengan masing-masing mengambil keuntungan.

Saat turut jadi pengepul susu, ia dimusuhi banyak orang yang puluhan tahun mengendalikan bisnis susu.

Mereka mematok harga susu di tingkat petani hanya Rp 1.500 per liter meski harga pasaran bisa Rp 4.000 per liter. Trisno mengubahnya dengan membeli dari petani seharga Rp 2.000 per liter, kemudian naik Rp 2.500 per liter.

”Sekarang harga susu di peternak minimal Rp 3.000 per liter,” ujar Trisno.

Ada juga masalah lain. Meski harga susu naik, jumlah peternak justru stagnan. Mereka lebih suka kegiatan yang menghasilkan uang seketika.

”Outbound” desa

Pada 2012, setelah melakukan studi banding ke desa-desa wisata, Trisno coba merintis kegiatan outbound yang dikemas dalam paket wisata.

Dibantu teman-temannya dari Solo, ia menciptakan berbagai kegiatan luar ruang, seperti permainan toya gila, pipa bocor, tangga manusia, dan nguras samudra. Ada juga petualangan susur sungai dan hutan serta pelatihan penyegaran jiwa.

Anak-anak muda dan sesepuh setempat diajak serta menjadi pelaksana outbound. Sebagian dari mereka dikirim ke Solo untuk belajar mengoperasikan alat-alat outbound dan belajar berbagai permainan yang aman.

Meski miskin, Dusun Tanon—yang berbatasan dengan hutan lindung kawasan Perhutani Magelang—dianugerahi alam yang subur dan indah.

Pada musim hujan, kabut menyelimuti desa ini sejak pukul 14.00. Dengan potensi itu, paket ”outbound ndeso” plus wisata itu pun diminati oleh sekolah, perguruan tinggi, sampai rombongan karyawan perusahaan.

Berdasarkan pengamatan Trisno, sepanjang 2009-2011, warga lebih suka diajak kegiatan outbound ketimbang memelihara sapi perah. Memelihara sapi tidak langsung mendapatkan hasil.

Sementara warga yang membantu kegiatan outbound langsung memperoleh upah begitu kegiatan itu kelar. Besarnya lumayan, Rp 20.000 sampai Rp 35.000 per orang.

Wisata menari

Paket ”outbound ndeso” plus wisata Dusun Tanon menjadi menarik karena dipadukan dengan pergelaran budaya. Salah satunya, seni tari.

Menurut sejarah lokal, salah satu prajurit Pangeran Diponegoro, yakni Ki Tanuwijaya, pernah tinggal di Dusun Tanon. Ki Tanu mengajar bela diri yang dikemas dalam tari, salah satunya tari keprajuritan yang diwariskan turun-temurun.

Pentas seni ini menjadi salah satu daya tarik tersendiri. Ada juga beberapa jenis tarian lain, seperti tari rodat, topeng ayu, kuda lumping, kuda debog, dan warog kreasi.

Tak hanya menghibur wisatawan, pentas tari juga menjadi media untuk memperkuat jati diri dan menebar harmoni di antara warga. Karena itu, kegiatan ini disambut antusias.

Para penari sepuh, berusia 55 tahun sampai 85 tahun, turun gunung. Ada Giono Giman (kuda lumping), Mbah Nasim (tari rodat), Sutrisno dan Maryoto (penerus grup ketoprak), Turut Sukardi, dan Lungguh Wahono (pakar tari keprajuritan).

Mereka mengajari anak-anak menari, bahkan kadang ikut tampil di hadapan wisatawan.

”Paket tarian bervariasi, pemainnya 4-8 orang. Untuk sajian atraksi wisata, biasanya tiap pertunjukan berlangsung 15-20 menit,” ujar Trisno. Pergelaran itu memberi rezeki tambahan bagi warga yang turut menari.

Oleh karena itu, banyak warga yang turut membantu. Ketua Kelompok Seni Krido Budi Utomo, Pardi (75), menyediakan pekarangan untuk menyimpan seperangkat gamelan, musik pengiring tari, dan ratusan aksesori perlengkapan tari.

Sebagian warga juga menyediakan pekarangan untuk sanggar tari dan ruang pentas tari.

Sejumlah warga menyiapkan pekarangan untuk pasar tiban. Hanya 10 pedagang warga asli yang boleh berjualan sayuran, mulai dari waluh (labu kuning) cabai, kol, kedelai, tomat, hingga sawi produksi setempat.

Warga lainnya menjadikan rumah mereka sebagai tempat tinggal wisatawan, homestay. Seiring dengan maraknya wisatawan, rumah-rumah warga juga direnovasi. Jalan menuju desa pun dibeton dengan lebar 5 meter agar bus bisa leluasa masuk.

Untuk memasarkan paket-paket wisata itu, Trisno menggandeng para pelaku wisata di luar kota serta memanfaatkan promosi di internet. Agar lebih memikat, desa ini dilabeli Desa Wisata Menari Tanon.

Pendekatan ini cukup mengena. Belum lama ini, sejumlah turis Singapura menginap di desa itu, bertualang, serta menyantap sayur lodeh buatan warga.

Outbound dan wisata tari di Dusun Tanon memberikan hasil lumayan. Dalam tiga tahun terakhir, terbukukan transaksi senilai Rp 250 juta. Pendapatan terbesar dari paket-paket wisata dengan kegiatan outbound.

Atas usahanya itu, Trisno memperoleh penghargaan dari PT Astra International. Pada 2014, Desa Ngrawan mendapat predikat Desa Sejahtera Mandiri dari Kementerian Sosial.

Desa itu juga kerap jadi tempat kuliah kerja nyata sejumlah perguruan tinggi. Desa-desa dari sejumlah provinsi lain juga studi banding ke situ.

Hal menggembirakan, kini sudah ada 32 anak desa ini yang bersekolah mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

”Saya berharap ada jembatan di atas Kali Parat yang menghubungkan Desa Ngrawan dengan Desa Tolokan dan Desa Nogosaren, supaya kedua desa tidak lagi semakin terpencil,” ujar Trisno. (WINARTO HERUSANSONO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Januari 2017, di halaman 16 dengan judul "”Outbound Ndeso” di Lereng Telomoyo".

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com