UDARA di Azumino, Prefektur Nagano, Jepang, akhir Januari itu, nyaris mencapai nol derajat. Selubung salju pun enggan melepaskan cengkeramannya terhadap rerumputan.
Namun, cerita dan keramahan Hama Shigetoshi (72) seolah mencairkan kebekuan, serupa hangatnya aliran Sungai Tadegawa yang mendenyutkan Perkebunan Wasabi Daio di Azumino.
”Dandanan saya memang seperti samurai. Namun, panggil saja saya master wasabi. Saya pencinta wasabi,” ujar Shigetoshi memperkenalkan diri kepada kami.
Perawakannya memang mengesankan dirinya seorang ”master”. Jenggotnya yang telah memutih menandakan panjangnya kehidupan yang telah dilewati.
”Saya kini mencurahkan seluruh sisa hidup ke perkebunan wasabi ini,” ujar Shigetoshi.
(BACA: Kusatsu Onsen, Permandian Air Panas Terkenal di Jepang)
Pria yang puluhan tahun menekuni profesi jurnalis itu lantas menceritakan kisahnya, mengapa ia akhirnya berlabuh ke Azumino, kota kecil di Nagano.
Ia memilih meninggalkan gemerlap hidup dan kemewahan di Tokyo, kota yang hampir separuh umurnya ia tinggali, demi mencari kepingan hidupnya yang hilang dan menekuni wasabi.
”Saya berasal dari sini (Azumino). Perkebunan (wasabi) ini mempertemukan saya dengan wanita pertama yang sangat saya cintai, Yoshiko. Waktu itu saya masih berusia 15 tahun, sementara dia 14 tahun. Ini sebetulnya rahasia saya. Tolong, jangan beri tahu ke istri saya karena dia bisa sangat cemburu,” tuturnya sambil tertawa dan menunjukkan foto hitam putih Yoshiko, mantan pacarnya saat remaja.
(BACA: Kanagawa, Destinasi Antimainstream yang Keren di Jepang)
Namun, sayang, takdir tidak mengamini kehendaknya. Keduanya tidak lagi bertemu sejak lebih dari setengah abad silam.