LASEM, KOMPAS.com - Pergelaran gamelan itu masih berlangsung di Kelenteng Cu Ang Kiong. Jelang pukul 22.00 WIB, pemain-pemain gamelan masih asyik dengan alatnya masing-masing.
Sementara, tiga orang waranggama tetap memegang mikropon dan melantunkan harmoni lagu-lagu berbahasa Jawa.
Mereka duduk bersimpuh di sebelah kanan pintu masuk Kelenteng Cu Ang Kiong. Para pemain gamelan, duduk ke arah utara kelenteng. Sesekali bangkit dari duduk untuk beristirahat dan makan.
Mata mereka terlihat tak berkedip saat memainkan alat-alatnya. Sesekali mereka berbincang seusai membawakan sebuah lagu.
Penonton pergelaran gamelan di Kelenteng Cu Ang Kiong tak ramai dibandingkan acara malam sebelumnya. Jumlahnya tak melebihi jari-jari tangan. Bahkan, tak jarang hanya tiga orang.
Saya pertama kali melihat pergelaran gamelan itu sekitar pukul 11.00 WIB. Sementara, 12 jam setelah itu, mereka masih khusyuk memainkan paduan kenong, gong, gendang, bonang, gambang, dan beragam alat musik lainnya.
Gegap gempita yang sangat berbeda dibandingkan perayaan lain seperti di Bogor, Jawa Barat. Di Lasem saat itu, Cap Go Meh hanya bersua dalam keheningan.
Seorang sesepuh Kelenteng Cu Ang Kiong, Opa Gandor bercerita pergelaran gamelan di kelenteng rutin diadakan saat menyambut acara-acara hari kebesaran. Salah satunya adalah Cap Go Meh.
"Karena sumber daya manusia khusus Tionghoa di Lasem itu sudah tinggal lima persen jadi ya sepi. Tidak seperti dulu, ramai. Karena tradisi itu kita masih merayakan," kata Opa Gandor saat ditemui di Kelenteng Cu Ang Kiong.
Pergelaran gamelan di Cu Ang Kiong hadir sejak pagi hingga malam hari jelang Cap Go Meh. Pada hari Cap Go Meh, pergelaran gamelan ditiadakan.
"Saat pagi ada sembahyang, musik gamelan sudah tidak ada," ceritanya.
"Jadi tidak bisa semua kelenteng disamakan, beda. Dari lokasi, kotanya, daerahnya juga. Semua disesuaikan. Kalau di Semarang Kota, musiknya musik berbau China. Di sini sumber daya manusia keturunan China gak ada untuk memainkan musik berbau China," tambahnya.
Bagian dari tradisi dan budaya
Bagi Opa Gandor, pergelaran gamelan di Kelenteng Cu Ang Kiong jelang Cap Go Meh adalah bagian dari tradisi. Para pemain gamelan juga dianggap seperti keluarga Kelenteng Cu Ang Kiong.
"Kalau tidak ada nanti ada yang tanya. Sepi kalau gak ada. Kalau seperti band, gak bisa awet. Ini dari pagi sampai jam 12 malam. Nanti setelah sembayang zuhur istirahat. Sekitar jam satu main lagi sampai jam tiga. Nanti menjelang maghrib, istirahat. Sampai jam 11 nanti selesainya," tambahnya.
"Mereka sudah seperti keluarga, misalnya mau pesta pernikahan, sunat. Dia pinjam uang ke kita. Misalnya mereka sudah punya kerja, baru bayar ke kita," ujarnya.
Pengamat Budaya Tionghoa, Agni Malagina mengatakan pergelaran gamelan di kelenteng seperti di Lasem itu adalah bentuk eksistensi percampuran dengan masyarakat Jawa. Menurutnya, tak semua kelenteng di daerah Jawa Tengah ada pergelaran gamelan jelang Cap Go Meh.
"Itu sudah the way of life mereka. Sudah ada dari darah mereka. Budayanya mereka (Tionghoa Lasem), ya budaya Jawa," ujar Agni.
"Sekarang banyak gamelan dijual keluar Lasem. Dari cerita oma-oma di Lasem, dulu di Desa Karang Turi, setiap rumah, punya gamelan. Biasa dimainin saat jam-jam santai, ada tamu pejabat, nemanin memakai candu," tambahnya.
Kini gamelan di tengah peradaban Lasem seperti hidup segan mati tak mau. Baik Agni maupun Ketua Kelompok Gamelan Sekar Laras, Ngaripin mengaku tak ada anak muda yang memainkan gamelan.
Ngaripin menyebut hanya orang-orang tua saat ini yang masih memainkan gamelan. Hal itu dilatari kegemaran atas musik gamelan.
Pergelaran gamelan di kelenteng Lasem terlihat seperti ingin menyelamatkan nyala api di tengah rintik hujan. Semakin maju teknologi, semakin budaya tradisional kian kurang diminati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.