JAKARTA, KOMPAS.com - Sertifikasi pelaku usaha pariwisata di Indonesia belum maksimal. Hal itu diakui oleh pelaku industri dan lembaga sertifikasi usaha di Indonesia.
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Didien Junaedi mengatakan pelaku industri pariwisata tak menganggap penting adanya sertifikasi usaha pariwisata.
Menurutnya, hal itu tercermin dari sedikitnya pelaku pariwisata yang memiliki Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP).
"Betul (industri anggap enteng TDUP). Karena pelaku industri itu tidak baca undang-undang. Padahal itu wajib. Belum dilaksanakan sanksinya," kata Didien saat ditemui di sela-sela acara Rapat Koordinasi Sertifikasi Usaha Pariwisata di Kementerian Pariwisata, Jakarta, Kamis (16/3/2017).
(BACA: Tips Wisata Spa untuk Pemula)
Didien menilai sertifikasi usaha pariwisata belum maksimal lantaran kurangnya sosialisasi. Ia juga mengatakan kurangnya kesadaran pengusaha pariwisata untuk melakukan sertifikasi.
"Padahal keuntungannya ada kepercayaan dari pelanggan. Sudah jelas eksistensi usahanya. Kepastian hukum sudah ada. Kerugiannya, ya kalau sudah betul-betul di-blow up, katakanlah tidak disarankan mendapat layanan dari pengusaha yang belum tersertifikasi," jelas Didien.
Menurutnya, TDUP adalah syarat industri pariwisata di Indonesia untuk mendapatkan sertifikasi. Namun, pada kenyataan sekarang, Didien menyebutkan belum ada satu persen industri pariwisata yang memiliki TDUP.
Direktur Lembaga Sertifikasi Usahat Pariwisata Tirta Nirwana Indonesia, Firmansyah Rahim menyatakan serupa dengan Didien. Ia memberikan contoh kasus di industri spa.
"TDUP itu (industri spa) tak ada yang punya. Itu kan syarat dasar untuk sertifikasi. Saya kan di industri spa. Saya keliling tak ada yang mau diperiksa dan disertifikasi," kata Firmansya pada kesempatan yang sama.
Ia mengatakan terkadang masih menemukan industri spa yang ingin disertifikasi. Namun, kendala yang ditemui adalah TDUP.
"Untuk wilayah Jakarta itu yang punya TDUP itu spa cuma 17. Padahal yang di Jakarta ada 500-1.000 tempat spa mungkin," tambah Firmansyah.
"Karena ini adalah penerapan dari undang-undang, harus ada political will dari pemerintah. Kalau tidak dilaksanakan, ada sanksi. Masalahnya sekarang belum ada sanksi keselarasan, kesepahaman antara pusat dan daerah," kata Didien.