Pemahaman itu terlihat pada permukiman milik 99 kepala keluarga yang berada di dataran tinggi dengan dinding dataran dipasangi batu bersusun (perigi).
Tempat tinggal mereka terdiri dari rumah panggung yang ada berugak (balai-balai bertiang empat) dan sekenem (bertiang enam), lumbung hasil bumi, masjid dan rumah jabatan amak loka’ (pemangku adat), sehingga total bangunan ada 99 unit.
Material bangunan rumah berupa tiang kayu, berdinding bambu, dan beratap ilalang.
”Inilah kampung tradisional yang asli, dilihat dari ruang hunian yang tertata rapi, material bangunan memakai kayu dan bambu. Di kampung tradisional lain sudah ada bangunan permanennya,” ujar Aying Tahrir, Ketua Persatuan Usaha Taman Rekreasi Indonesia NTB.
Kampung seluas 2 hektar ini masuk kawasan hutan adat seluas 11,441 hektar. Dalam luasan itu ada area hutan yang pohonnya boleh diambil untuk kayu bakar, khususnya pohon kayu yang tumbang dimakan usia atau akibat bencana alam.
”Kalau ini sekenem, tempat menerima tamu dan kalangan laki-laki tidur di malam hari,” ujar Sukati menunjukkan sebuah bangunan.
Bangunan itu berupa rumah panggung berukuran 4 x 4 meter. Ruangan jadi sempit karena dibagi untuk tempat tidur, dapur, serta ”gudang” peralatan dan perabot rumah tangga.
Karena itu, dipandang kurang etis jika dalam satu keluarga yang memiliki anak remaja lelaki dan perempuan tidur dalam satu ruangan.
Warga kampung yang hidup agraris, sepanjang hari mengurus ladang, memiliki strategi mitigasi bencana kebakaran. Yakni, membangun lumbung terpisah dari rumah. Bila terjadi kebakaran saat mereka sedang di ladang atau tidak di rumah, lumbung mereka aman dari api.
Orang-orang dewasa pulang menjelang magrib. Wajarlah jika Minggu siang itu hanya tampak satu-dua laki-laki dan perempuan tua yang menunggu rumah. ”Pintu rumah tidak satu pun dikunci, tapi tak pernah ada pencuri yang masuk,” kata Sukati.
Mencuri memang merupakan salah satu larangan di Kampung Tradisional Suku Sasak yang tetap ditaati sampai saat ini. (KHAERUL ANWAR)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Maret 2017, di halaman 23 dengan judul "Dusun Sembagik, Banyak ”Tidak Boleh”-nya".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.