Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bersepeda Menjelajahi Sawah di Lombok

Kompas.com - 02/04/2017, 16:29 WIB

”KALAU ente telat loncat, sepeda dan tubuh ente balapan nyungsep ke sawah,” kata Panca, mengolok seorang rekannya yang gagal melewati sebuah gundukan tanah pematang sawah karena salah memilih titik yang tepat mengayuh pedal sepeda.

Temannya itu refleks melompat dari sadel sepeda yang melaju mundur di gundukan sehingga tercebur ke saluran irigasi berair jernih itu.

Keseruan itu di antaranya didapat saat berwisata dengan sepeda di Desa Bile Bante, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Minggu (26/2/2017) sore.

Rute bersepeda ini menelusuri pematang sawah (pelepe—bahasa Sasak Lombok), jalan yang sebagian kecil beraspal dan berkonstruksi semen, kemudian melewati kebun yang ditanami beragam jenis buah.

Seraya kaki mengayuh pedal sepeda, mata juga disuguhkan aktivitas petani di sawah. Di satu petak sawah terdengar senda gurau para ibu rumah tangga/buruh tani tengah menanam benih cabai.

(BACA: Dusun Sembagik, Banyak Tidak Boleh-nya)

Di petak lain tampak sejumlah buruh tani tengah panen dan merontokkan padi dari batangnya (ngerampek).

Rumpun padi yang menghijau, batangnya yang merunduk karena terbebani bulir padi yang kian berisi, adalah pemandangan lain di jalur bersepada ini. Di samping dihibur gemericik suara air saluran irigasi, yang memberikan kesejukan dan kesegaran alam sekitar.

Buka kesadaran

Potensi alam itulah yang dijadikan branding Desa Wisata Hijau oleh 32 generasi muda desa di desa yang berpenduduk 3.873 jiwa itu.

”Nama desa ini Bile Bante, bile sinonim buah maja, bante padanan kata semak belukar. Kami mengartikan desa ini memiliki tanah yang subur ditanami beragam jenis tanaman,” ujar Fahrul Azim (33), Ketua Desa Wisata Hijau.

(BACA: Catat... Sederet Agenda Wisata 2017 di Lombok!)

Namun, tanah yang subur itu masih selalu ”diganggu” aktivitas penambangan pasir yang mengancam kerusakan lingkungan.

Itu sebabnya, digagas Desa Wisata Hijau sebagai upaya mengedukasi warga setempat bahwa aktivitas tanam-petik yang mereka kerjakan selama ini sesungguhnya memiliki nilai jual yang mampu menghasilkan uang tanpa menambang pasir.

Karena itu, kata Fahrul, pada 5 September 2016, dirinya bersama anggota Desa Wisata Hijau merintis dan membuat paket wisata.

Mereka aktif mengikuti kursus, usaha rumah tangga, dan ekonomi produktif lainnya yang diselenggarakan sejumlah instansi terkait di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Belakangan, Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) melakukan pendampingan kelompok ini.

Wisatawan asing

Paket wisata yang ditawarkan adalah bersepeda, menyambangi perajin anyaman topi berbahan lidi, dan singgah di Pura Lingsar Kelud.

Pura yang dibangun tahun 1922 itu sebagai simbol kerukunan umat beragama di Desa seluas 2,78 kilometer persegi, memiliki 221 hektar sawah, dan kebun seluas 85 hektar.

Dengan membeli paket Half Day Tour Bilebante Family Long Rideseharga Rp 225.000 per orang, menempuh rute 4 kilometer, pengunjung dapat jatah satu sepeda untuk menjelajahi semua obyek yang ditawarkan, selain suguhan kuliner tradisional, minum kopi ataupun air kelapa muda.

Wisata sepeda ini berlangsung pagi hari (07.00 Wita) atau sore hari (15.30 Wita). Waktu ”buka warung” itu bertujuan agar wisatawan menikmati sinar matahari pagi dan warna jingga matahari sore menuju rembang petang.

Saat itu pula kegiatan bertani berjalan sehingga pengunjung melihat aktivitas pertanian serta bertegur sapa dengan petani yang hilir mudik dari sawah ke sawah.

Untuk sekali tur, hanya tersedia 10 sepeda sehingga calon pengunjung harus memesan terlebih dulu sebelum hari-H.

Sejak dirintis pada 5 September 2016, jumlah pengunjung Desa Wisata Hijau Bile Bante sekitar 300 orang, meliputi wisatawan asal Irlandia, Jerman, Perancis, Timor-Leste, dan termasuk pesepeda lokal Lombok.

Medan jelajah sepeda ini landai-landai saja, ada sedikit tantangannya. Misalnya, perjalanan di pematang sawah yang sempit, seperti di Jembatan Lime (Lima), Dusun Karang Ide yang dibangun sekitar tahun 1940.

Dinamakan Jembatan Lime sebab memiliki lima saluran sekunder/tersier, dan tiga dari lima saluran itu dilengkapi jembatan yang menghubungkan satu saluran ke saluran lainnya.

Air dari daerah irigasi Gebong dengan debit 619 liter per detik didistribusikan bagi 333 hektar sawah di Desa Bile Bante dan sekitarnya.

Namun, sekitar 500 meter sebelum mencapai Jembatan Lime itu, pesepeda melewati pematang sawah selebar kurang dari 40 cm dan jalan saluran irigasi.

Di beberapa jalan terdapat gundukan tanah dan lubang tertutup rumput yang dapat ”mengelabui” mata yang kurang awas.

Di titik tersebut, pesepeda harus ekstra hati-hati menjaga keseimbangan tubuh karena, kalau salah pilih jalan, akan terjerembab ke sawah atau saluran irigasi…. (KHAERUL ANWAR)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 April 2017, di halaman 11 dengan judul "Bersepeda Menjelajahi Sawah di Lombok".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com