Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ritus Adat Pasola

Kompas.com - 03/04/2017, 09:32 WIB

HUH-huh-huh.... Huh-huh-huh.... Huh-huh-huh.... Huh-huh-huh.... Suara saling sambut berulang diucapkan rato, pemangku adat Wanokaka, sambil berjalan menuju Pantai Wanokaka Pahiwi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada pagi buta.

Suara yang dilontarkan rato terus diucapkan untuk memanggil cacing laut (nyale) menepi ke bibir pantai.

Ritus nyale atau mengambil cacing laut merupakan prosesi adat yang wajib dilalui masyarakat adat sebelum kegiatan pasola dilakukan.

(BACA: Kucuran Darah yang Dinanti di Festival Pasola)

Selain untuk dikonsumsi, nyale yang muncul pada bulan tertentu tersebut memiliki peran penting bagi masyarakat adat yang menganut kepercayaan marapu sebagai medium komunikasi mereka terhadap leluhur.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Ritus nyale atau mengambil cacing laut merupakan prosesi adat yang wajib dilalui masyarakat adat Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, sebelum kegiatan pasola dilakukan.
Umumnya nyale muncul selama tiga hari berturut-turut. Sayangnya, tahun ini, nyale tidak muncul hingga perayaan pasola berlangsung.

Salah satu penyebabnya adalah ada pergeseran hari pelaksanaan pasola oleh pemerintah setempat.

(BACA: Ayo ke Pulau Sumba...)

Setiap nyale yang ditangkap adalah jawaban terhadap kehidupan yang akan mereka jalani ke depan. Dalam sejarahnya, nyale dan pasola merupakan ritus kawin-mawin antara suku Kodi dan Waiwuang.

Kala itu nyale digunakan Teda Gaiporana, pemuda suku Kodi, sebagai mahar untuk mempersunting Rabu Kaba, janda Umbu Dulla dari suku Waiwurang.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Pasola di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Pernikahan kontroversial memunculkan pertentangan di antara dua suku. Untuk melepaskan dan mengakhiri dendam di antara kedua suku, dilakukanlah prosesi adat pasola.

Sebagai puncak ritus adat, masyarakat adat menyelenggarakan pasola. Pasola dilakukan secara berkelompok oleh dua kampung adat atas (pegunungan) dan kampung adat bawah (pesisir).

Puluhan laki-laki dari dua kelompok adat ini masing-masing menunggang kuda sambil membawa lembing kayu tumpul untuk dilemparkan mengenai tubuh penunggang kuda lawan.

Mereka secara bergantian dan kadang secara serempak melemparkan lembing ke arah lawan, kemudian mundur kembali ke barisan. Demikian terus berulang hingga rato, menyatakan pasola berakhir.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY Penonton Pasola di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Peserta pasola hanya diikuti kaum laki-laki tanpa batasan usia. Pasola dimulai di pantai seusai menangkap nyale, dinamakan pasola pantai.

Kemudian secara bergerombol penunggang kuda menuju lapangan pasola yang sudah ditetapkan rato.

Sebagian warga adat kini tak lagi menganut kepercayaan marapu. Ada juga di antara mereka yang menjadi umat Kristiani, tetapi mereka tetap menjalani ritus adat setiap tahun sebagai bentuk kepatuhan terhadap warisan leluhur. (LUCKY PRANSISKA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Maret 2017, di halaman 32 dengan judul "Ritus Adat Pasola".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com