Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pecak Betutu di Tepi Waduk

Kompas.com - 10/04/2017, 10:43 WIB

WADUK Penjalin memberi berkah kepada warga berupa ikan yang melimpah, selain air untuk irigasi. Warung Betutu Bu Um mengolah berkah itu menjadi pecak betutu yang membuai lidah.

Sepasang betutu meringkuk malas di atas piring. Badannya yang sebesar dua jari orang dewasa itu belepotan oleh sambal pecak buatan Bu Um.

Kulit ikan yang kering dan mengilap oleh sambal, mengeluarkan aroma mengundang selera. Aroma antara daging ikan matang dan bawang.

Di samping piring tempat betutu meringkuk malas itu, tersaji secobek sambal terasi. Katanya ini untuk jaga-jaga seandainya kami ingin sensasi lain setelah menyantap sambal pecak.

(BACA: Ayam Betutu Khas Gilimanuk, Pedasnya Bikin Nangis)

Kami juga disuguhi sepiring sayur hijau dipuncaki bawang goreng. ”Ini tumis ceriwis. Paling enak untuk pelengkap pecak betutu,” promosi Bu Um, yang bernama asli Umiyati (59), tentang sayur berbahan kol gepeng itu.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Proses masak pecak betutu menggunakan bahan bakar kayu.
Semua disuguhkan dalam kondisi panas. Bahkan, nasi putih yang pulen itu masih mengepulkan asap. Saya bersama dua teman asli Brebes menikmati gurih betutu dan sensasi pedas bumbu pecak Bu Um.

Daging betutu begitu lembut sehingga terasa langsung lumer saat bersentuhan dengan lidah. Gurih dagingnya beraksen manis dan sama sekali tidak terasa aroma atau rasa tanah sebagaimana lazimnya ikan yang besar dan tumbuh di waduk itu.

Gurih dan manis itu dibungkus sensasi pedas dan wangi bawang dari sambal pecak. Rasa bumbunya tidak terlampau pedas. ”Tidak pedas sama sekali ini bagi saya,” kata Nurul Iman (38), teman saya, sambil mencolek sambal terasi di samping piring ikan betutu tadi.

(BACA: Menu Hangat di Kaki Tidar)

Setelah habis dua betutu, saya beralih pada mujair goreng yang juga masih panas. Tak kalah gurih dengan betutu tadi, hanya saja daging mujair agak keras.

Siang itu, kami menghabiskan tiga piring betutu dan tiga ekor mujair ditemani semilir angin Waduk Penjalin. Siang itu, tak kurang dari 30 orang makan bersamaan dengan kami.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Pecak betutu yang masih hangat.
Cita rasa nenek

Bu Um menguasai beberapa resep masak dari neneknya, Wistem (85). Tatkala neneknya masih lincah dan gesit, dia kerap meminta Um membantunya memasak. Lambat laun, Wistem mengajari Um cara meracik bumbu dan memasak beragam ikan dari Waduk Penjalin.

”Dulu ikannya kami bakar, baru dikasih bumbu. Sekarang digoreng karena lebih cepat matang, he-he-he,” kata Bu Um.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com