Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pecak Betutu di Tepi Waduk

Kompas.com - 10/04/2017, 10:43 WIB

(BACA: Pedas Krenyes Sambal Matah Khas Bali)

Soal komposisi bumbu, Bu Um tidak berani mengubahnya karena konsistensi rasa itu menjadi kunci cita rasa masakannya. Betutu dia masak dengan tomat, cabai, bawang putih, dan bawang merah.

Kadang ada pelanggan yang minta ditambahi jahe atau kencur untuk menghilangkan aroma amis ikan di mulut. Bumbu-bumbu tadi digoreng menggunakan perapian berbahan kayu bakar, lalu dihaluskan dengan cara diulek. Setelah itu, sambal dilumurkan ke ikan goreng yang masih panas.

”Harus (dilumurkan) saat masih panas agar bumbunya meresap. Kalau ikannya sudah dingin, kurang sedap saat dimakan karena bumbunya tidak masuk,” kata Bu Um yang menghindari penggunaan MSG dan mengandalkan bawang putih dan bawang merah sebagai kunci rasa gurih.

Begitu pun dengan racikan sambal terasi ataupun tumis ceriwis tadi. ”Kuncinya di bawang. Kalau bawang putih dan merahnya banyak, gurihnya terasa,” begitu Bu Um mengingat pesan neneknya.

Pengepul ikan

Bu Um memulai usahanya secara tak sengaja. Semula dia hanyalah pengepul ikan dari para pencari ikan di Waduk Penjalin. Ikan-ikan segar itu lalu dia jajakan ke pasar.

Dalam sehari bisa sampai 70 kilogram beragam ikan, seperti betutu, mujair, dan ikan emas, yang dia jual. Itu dia jalani sejak 1986.

Lambat laun, banyak juga warga yang membeli ikan ke rumah. Lalu satu-dua orang minta sekalian dimasakkan alias beli ikan matang.

Dari situ, cita rasa masakan Bu Um mulai dikenal dan memengaruhi selera makan warga sekitar Waduk Penjalin, terutama di Desa Winduaji, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Tumis ceriwis pelengkap pecak betutu.
Setelah itu, ada warga yang ingin sekalian makan di depan rumah Bu Um menghadap waduk.

Meskipun hanya tersedia dua meja untuk sepuluh orang, rumah Bu Um makin hari makin ramai didatangi warga, lalu pelancong, untuk makan di tepi waduk. Hingga para pelanggan setia itu secara aklamatif meminta Bu Um membangun warung.

Ditambah lagi dukungan seorang pegawai bank yang siap membantu proses peminjaman modal ke bank, rencana itu terlaksana.

Tahun 2011, Bu Um membangun warung Pecak Betutu dengan pinjaman modal atas nama suaminya, Roid. Tujuh bulan kemudian, Roid meninggal di usia 65 tahun.

”Setelah suami saya meninggal, saya tidak perlu membayar cicilan pinjaman karena ditanggung asuransi. Jadi, saya mengibaratkan warung ini nafkah suami saya,” katanya.

Warung itu berdiri di atas lahan 200 meter persegi dan mampu menampung sekitar 80 orang. Bahkan, kini bertambah menjadi sekitar 100 orang setelah dibangun ruang pertemuan di lantai atas.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Sambal terasi pelengkap pecak betutu.
Untuk ukuran warung di desa, omzet Bu Um terbilang besar. Dalam sehari, mulai pukul 08.30 hingga sekitar pukul 19.30, dia menghabiskan 30 kilogram betutu dan sekitar 20 kilogram mujair.

Itu belum termasuk hasil waduk lain, seperti udang atau ikan cakul, ikan kecil seukuran teri. Semuanya ikan segar, hasil tangkapan pencari ikan di Waduk Penjalin di pagi dan sore hari. (MOHAMMAD HILMI FAIQ)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 April 2017 di halaman 30 dengan judul "Pecak Betutu di Tepi Waduk".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com