JAKARTA, KOMPAS — Revitalisasi fisik di Kota Tua Jakarta, Taman Sari, Jakarta Barat, dinilai bertolak belakang jika dibandingkan dengan pengelolaan komunitas lokal di kawasan bersejarah itu.
Sejumlah komunitas lokal yang ikut berpartisipasi menghidupkan Oud Batavia itu seharusnya dinaungi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Hal itu disampaikan Adrianus Waranei Muntu dalam diskusi bertema ”Partisipasi Komunitas Lokal dalam Pengembangan Atraksi Wisata Kota Tua” di Museum Mandiri Jakarta, Sabtu (8/4/2017).
Penelitiannya dalam tesis bertema senada menyebutkan ada beberapa komunitas lokal, atraksi wisata, dan turisme warisan budaya yang ikut menghidupi Kota Tua.
(BACA: Menguak Sisi Gelap Museum Fatahillah)
Sejumlah komunitas lokal yang berpartisipasi secara spontan di kawasan itu di antaranya komunitas manusia batu, pencak silat cakra buana, komunitas lingkar rupa, komunitas Sunda Kelapa Heritage, komunitas China Town (pecinan), dan komunitas sahabat budaya Indonesia.
”Kota Jakarta tidak terlalu banyak memiliki ruang terbuka publik yang luas yang dapat menampung banyak orang. Kota Tua menjadi magnet bagi warga Jakarta ataupun pendatang dari kota sekitar,” ujar Adrianus.
(BACA: Cemal-cemil Cantik bak Noni Kompeni di Kota Tua)
Selain komunitas spontan, juga ada komunitas lokal, di antaranya paguyuban onthel wisata Kota Tua dan komunitas jelajah budaya. Sejumlah komunitas itu muncul karena faktor ekonomi.
Kota Tua jadi ladang mata pencaharian yang menjanjikan. Ramainya kawasan itu terutama pada akhir pekan membuat penjaja jasa ataupun pedagang kaki lima sangat meminati kawasan itu.
Tak terkontrol
Meski berdampak positif dan menghidupkan suasana di Kota Tua, komunitas ini juga menghadapi kendala.
Tanpa aturan ketat dan pembatasan dari Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua, seniman akan membeludak tak terkontrol. Terkadang, kreativitas yang mereka tampilkan juga tidak sesuai dengan tema sejarah di Kota Tua.
Ketua UPK Kota Tua Norviadi S Husodo mengatakan, pihaknya sudah mendata komunitas resmi dan dinaungi Pemprov DKI.
Seniman jalanan yang menampilkan pertunjukan melenceng dari tema, seperti hantu pocong dan kuntilanak, sudah dilarang. Kini, kehadiran mereka muncul digantikan putri duyung, noni Belanda, dan sebagainya.
”Kami berusaha berkomunikasi dengan komunitas di Kota Tua. Pedagang kaki lima sudah kami tata dan pindahkan di area parkir Jalan Cengkeh,” kata Norviadi.
Susiana Dewi Ratih, pengamat pariwisata, mengatakan, UPK Kota Tua bisa memulai dengan mendata komunitas sesuai dengan karakteristik dulu. Setelah itu, program penataan komunitas harus berjalan seirama dengan program fisik revitalisasi Kota Tua.
UPK Kota Tua dan Destination Management Organization (DMO) Kota Tua harus bisa merangkul pemangku kepentingan demi pengorganisasian kawasan yang lebih baik. (DEA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.