Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sangiang dan Tradisi Masyarakat Pesisirnya

Kompas.com - 17/04/2017, 07:18 WIB

BERSAMA beberapa orang, Abu Bakar (68) menumpang sampan kecil menuju kapal Putra Afdal yang berjarak sekitar 20 meter dari lepas Pantai Sangiang, Sabtu (1/4/2017) siang. Di atas kapal itu, belasan orang menunggu dengan sabar.

Begitu sampan dengan lebar kurang dari 50 sentimeter dan panjang sekitar 3 meter itu menyentuh pinggir kapal Putra Afdal, mereka bergegas membantu Abu Bakar naik. Abu Bakar, tokoh agama Desa Sangiang, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, itu langsung duduk.

”Tradisi ini tidak mungkin bisa dimulai tanpa kehadiran beliau,” kata Ayang Syaifullah (38), tokoh pemuda Desa Sangiang.

Siang itu, Abu Bakar hadir untuk memimpin doa Lopi yang dalam bahasa Mbojo, suku yang mendiami wilayah Dompu dan Bima, berarti doa untuk meminta keselamatan atas lopi (kapal).

”Tradisi ini telah ada sejak nenek moyang kami mendiami Sangiang, dan diwariskan secara turun-temurun. Tradisi ini harus dilakukan setiap kali ada kapal baru yang akan melaut untuk pertama kali,” kata Abdul Gani (55), warga Desa Sangiang.

(BACA: 5 Gunung Pilihan untuk Didaki di Indonesia)

Seperti maknanya, doa Lopi ditujukan untuk meminta keselamatan atas kapal karena akan menempuh perjalanan jauh mengarungi laut. Selain keselamatan, doa itu dilakukan agar pemilik kapal dimurahkan rezekinya.

”Kami meyakini, jika tidak didoakan, akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika berada di tengah laut,” tambah Abdul Gani.

Menurut Abdul Gani, selain untuk kapal baru, doa Lopi juga dilakukan manakala ada perubahan pada kapal lama milik mereka.

(BACA: Inikah 10 Pantai Terbaik di Indonesia?)

Perubahan itu bisa berupa cat baru, mesin baru, atau ketika pemiliknya mengganti layar. Kapal Putra Afdal milik Ridwan (54) yang siang itu didoakan karena baru selesai dicat ulang.

Prosesi doa Lopi siang itu berlangsung singkat. Dipimpin Abu Bakar, warga yang hadir membaca ayat-ayat Al Quran dan berzikir beberapa menit, kemudian membaca doa. Begitu selesai, pemilik kapal dibantu anggota keluarganya membagikan makanan untuk disantap bersama-sama.

Setelah acara berakhir, pemilik kapal menaikkan jangkar. Selanjutnya, kapal berkeliling mengitari kawasan perairan Sangiang selama sekitar 10 menit.

Menurut Abdul Gani, biasanya untuk kapal, terutama yang baru pertama kali diluncurkan, pemiliknya memotong ayam atau kambing untuk dimasak. Lalu semua warga dikumpulkan. Kemudian ada pembacaan Barzanji (doa-doa, puji-pujian, dan riwayat Nabi Muhammad SAW) yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Setelah itu, warga makan bersama-sama.

Abdul Gani mengatakan, tradisi doa Lopi tidak hanya kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya menyeimbangkan doa dan usaha, tetapi juga kebersamaan. Hal itu terlihat dari warga yang saling membantu, terutama ketika ada sesamanya tidak bisa menyelenggarakan doa Lopi.

”Sering kali, ada warga yang tidak bisa menyelenggarakan doa Lopi sehingga tidak bisa meluncurkan kapalnya ke laut. Alasannya, belum punya biaya terutama untuk membeli ayam atau kambing. Pada momen itulah warga lain memberikan bantuan,” kata Abdul Gani.

Masyarakat pelaut

Desa Sangiang terletak sekitar 62 kilometer timur Laut Raba, ibu kota Kabupaten Bima atau 39 kilometer arah barat Pelabuhan Sape (pelabuhan penyeberangan ke Komodo). Wilayahnya terdiri dari kawasan pesisir di daratan Sumbawa (Sangiang daratan) dan Gunung Sangiangapi (Pulau Sangiang), yang terletak di laut.

Perkampungan warga berada di daratan, sementara Gunung Sangiangapi yang termasuk gunung aktif, digunakan warga sebagai tempat bercocok tanam kacang, wijen, jewawaut, cabai, serta beternak sapi dan kerbau.

Namun, dari sekitar 4.000 penduduk Sangiang, 80 persen di antaranya menggantungkan hidup sebagai pelaut. Tak mengherankan jika kapal-kapal warga memenuhi sepanjang kawasan pesisir Sangiang daratan.

Kapal-kapal di Sangiang merupakan kapal pinisi berjenis lamba atau lambo berukuran kecil dan besar. Lamba atau lambo merupakan jenis kapal pinisi yang lebih modern karena dilengkapi mesin. Adapun pinisi yang asli disebut palari dan ukurannya lebih kecil daripada lamba.

Kapal-kapal itu digunakan untuk menangkap ikan atau mengangkut hasil pertanian di Gunung Sangiangapi. Selain itu, masyarakat Sangiang juga menggunakannya untuk mengangkut barang dagangan antarwilayah di Pulau Sumbawa hingga antarprovinsi.

Rute yang ditempuh adalah Bima-Kalimantan-Sulawesi-Ambon-Papua dan Bima-Surabaya-Semarang-Jakarta, serta rute lokal lain.

”Kapal-kapal lambo di Sangiang baik besar maupun kecil rata-rata punya kecepatan tinggi menjadi salah satu moda transportasi laut. Jadi, jauh sebelum Presiden Joko Widodo mencanangkan program Tol Laut, orang-orang Sangiang sudah bekerja menghubungkan Nusantara,” kata Ayang.

Kapal Putra Afdal milik Ridwan salah satunya. Kapal dengan kapasitas 35 ton itu hampir 10 tahun digunakan untuk membawa barang dagangan ke Calabai, Dompu hingga ke Buton, salah satu pulau di Sulawesi Tenggara.

Pariwisata

Keunikan Sangiang tidak hanya berada di Sangiang daratan, tetapi juga Pulau Sangiang (Gunung Sangiangapi) yang berada sekitar lima kilometer dari daratan.

Sangiangapi memiliki dua puncak gunung api yang masih aktif, yakni Doro Api yang tingginya 1.949 meter di atas permukaan laut (mdpl), dan Doro Mantoi dengan tinggi 1.795 mdpl. Status Sangiangapi hingga sekarang adalah waspada.

Sangiangapi tercatat sudah 20 kali erupsi sejak tahun 1521, dan terakhir pada 30 Mei 2014. Menurut Ayang, erupsi pada 1953 membuat migrasi besar-besaran masyarakat yang tinggal di pulau ke Sangiang daratan.

Pada 1985, erupsi kembali terjadi, dan sejak saat itu kawasan kaki Sangiangapi kosong. Masyarakat dilarang tinggal di pulau itu.

”Gunung Sangiangapi oleh warga disebut dana mbari atau tanah keramat karena sudah tidak bisa ditempati lagi. Sejak saat itu hingga sekarang, kawasan gunung hanya digunakan untuk tempat bercocok tanam dan beternak. Tiap musim panen, warga biasanya ke sana,” kata Ayang.

Meskipun dianggap keramat oleh warga, Sangiangapi yang berada sendiri di tengah laut jadi daya tarik wisata.

Menurut Ayang, tidak hanya wisatawan lokal dari Bima dan Kabupaten Sumbawa, wisatawan asing yang naik kapal pesiar dari Bali atau Lombok menuju Komodo, Nusa Tenggara Timur, juga mampir di Sangiang.

Mereka biasanya turun dari kapal pesiar, lalu menyewa kapal warga menuju Sangiangapi sehari penuh. Biaya sewa kapal warga sekitar Rp 800.000.

Tentu aktivitas warga dan wisatawan di Sangiangapi tetap mendapat pengawasan dari Pos Pengamatan Gunung Api Sangiangapi.

Menurut Nur Hudha, petugas pengamatan di pos itu, mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, mereka mengeluarkan rekomendasi agar masyarakat dan wisatawan tidak mendekat dan beraktivitas di radius 1,5 kilometer dari pusat aktivitas Gunung Sangiangapi.

Pemerintah Kabupaten Bima juga melihat keberadaan Sangiang daratan dan Sangiangapi sebagai potensi pariwisata yang menjanjikan.

Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bima Abdul Muis, Sangiang menjadi salah satu dari enam kawasan utama pengembangan pariwisata Kabupaten Bima. Sangiang masuk dalam kawasan Sakosa atau Sape-Komodo-Sangiang.

Kalendar pariwisata rutin setiap tahun di Sangiang adalah lomba sampan layar tradisional yang digelar setiap Agustus. (ISMAIL ZAKARIA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com