Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mi Ongklok Menembus Batas Negara

Kompas.com - 27/04/2017, 09:47 WIB

TIDAK perlu memakai ungkapan luar biasa untuk menggambarkan cita rasa mi ongklok Longkrang di jalan Pasukan Ronggolawe, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

Diracik dengan tidak terlalu banyak bumbu dan tanpa ”embel-embel” penyedap apa pun, hidangan khas Wonosobo dari warung ini menawarkan kesederhanaan rasa yang otentik, ringan, dan tidak terlalu ”njelimet” di lidah.

Rasa sederhana yang orisinal bertahan sejak warung berdiri pada 1975.

Mi ongklok merupakan hidangan mi bercampur kol dan daun kucai, dengan kuah kental terbuat dari sari pati nabati, dan bagian atas disiram dengan bumbu kacang.

”Penampilan” mi berikut kuah kentalnya yang memenuhi piring membuat hidangan ini terkesan bercita rasa ”berat”, atau membuat cepat kenyang. Tapi semua itu lenyap begitu mencicipinya.

(BACA: Bagaimana Cara Agar Kuliner Indonesia Mendunia?)

Di warung ini, setiap suapan mi bersama kuahnya tidak terasa enek, justru terasa begitu lembut, ringan, dan memancing si penyantap untuk menuntaskan hidangan hingga tandas.

Bahkan juga menantang untuk menghabiskan setiap jejak kuah di piring, dan sluurrrppp... terasa begitu segar di mulut!

Warung mi ongklok Longkrang hanyalah salah satu dari puluhan warung kedai mi ongklok di Kabupaten Wonosobo yang menawarkan sensasi rasa itu.

Namun, dengan melihat usia berdirinya, warung ini termasuk kategori ”legendaris”, dan disarankan banyak orang untuk dikunjungi.

(BACA: Generasi Milenial sebagai Generasi Penerus Kuliner Indonesia)

Waluyo (48) adalah generasi kedua yang menjalankan warung mi ongklok Longkrang. Dia sendirilah yang terjun menyiapkan hidangan untuk para pelanggan, menggantikan ayahnya, Samsudin, di warung yang tidak pernah bergeser dari lokasi semula sejak 42 tahun silam.

Di tahap awal proses memasak, ada tahapan unik yang harus dilalui agar mi yang dipakai ”sah” menjadi mi ongklok. Proses ini terjadi saat mi bersama kol dan kucai untuk satu porsi diletakkan dalam semacam saringan bambu, dicelupkan ke dalam air panas berkali-kali.

”Dalam proses pencelupan ini, campuran mi bersama kol dan daun kucai dalam saringan bambu, harus rajin di-ongklok-ongklok (digoyang-goyang) agar matang merata di semua bagian,” ujar Waluyo (48), pemilik warung mi ongklok Longkrang.

Dari proses inilah, sebutan ”ongklok” akhirnya ”resmi” melekat. Tidak pernah ada yang berubah dalam proses ini, termasuk saringan berbahan bambu yang menjadi peranti ”wajib” yang urung tergantikan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com