Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karnoto, Wajah Kemajemukan Lasem

Kompas.com - 08/05/2017, 08:06 WIB

USIANYA tidak muda lagi. Namun, Karnoto (70), seniman tari klasik di Desa Sendangasri, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, terus berkarya.

Dia juga menularkan ilmunya kepada generasi muda sembari terus mementaskan drama tari mengenai kemajemukan di wilayah itu.

Akhir Januari lalu, bersama sekitar 15 pemain gabungan pelajar Lasem dan mahasiswa Universitas Negeri Semarang, Karnoto memukau penonton. Mereka sukses menggelar drama tari kepahlawanan Lasem di Gedung Balai Perdamaian, Karangturi, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.

Lakon yang mereka tampilkan adalah konflik perang di Lasem, dampak Geger Pecinan di Batavia pada 1740. Ketika itu, lebih dari 10.000 warga Tionghoa migrasi keluar dari Batavia, sebagian hijrah ke Lasem yang saat itu dipimpin adipati keturunan Tionghoa. Sang adipati diharapkan bisa memberikan perlindungan.

(BACA: Wisata Religi di Lasem, Ini Tiga Kelenteng Tua yang Bisa Dikunjungi)

Di dalamnya tercatat kisah heroik Tan Kee Wie serta Raden Panji Margono dan Oei Ing Kiat. Kisah heroik mereka melawan penjajah Belanda itulah yang menjadi cerita drama tari di bawah asuhan Karnoto.

”Menampilkan kisah kepahlawanan Lasem memang tidak mudah. Meski kisah heroik itu sudah lama turun-temurun dikisahkan kepada anak cucu, baru kali ini kisah itu divisualkan selama 21 menit dalam bentuk drama tari,” ujar Karnoto, beberapa waktu lalu.

”Saya memerlukan waktu lebih dari sebulan saat ditawari menggarap drama tari itu,” ucapnya.

Karnoto tertantang untuk menampilkan kisah heroik kepahlawanan Lasem saat ditawari oleh Rudi Hartono, pengusaha yang menjadi ketua panitia pada perayaan Imlek.

(BACA: Mencicipi Segarnya Coca-Cola ala Jawa di Lasem)

Sebagai seniman seni tari klasik, tidak terlalu sulit untuk merangkai drama tari itu. Hal yang justru sulit adalah menampilkan para tokoh ke dalam drama tari.

Misalnya, Tan Kee Wie, seorang guru kungfu, membutuhkan pemeran yang setidaknya mahir memainkan jurus-jurus kungfu dalam drama tari. Apalagi drama tari tidak menonjolkan dialog, tetapi visual gerak para pemain.

Begitu halnya sosok Kiai Ali Badawi, juga harus diperankan oleh pemain yang memiliki wibawa kuat ketika tampil di panggung.

Kesediaan menggarap drama tari ini, kata Karnoto, tidak lepas dari dukungan KH M Zaim Ahmad Ma’shoem atau dikenal sebagai Gus Zaim, pembina Pondok Pesantren Kauman Karangturi, Lasem. Pada zaman Orde Baru, mustahil memperoleh izin untuk mementaskan drama tari ini.

Karnoto mengaku, mementaskan kisah kepahlawanan Lasem merupakan pengalaman pertamanya menggarap drama tari.

Gus Zaim-lah yang mendorongnya untuk berani menggarap kisah kepahlawanan itu sebagai wujud nyata bahwa di Lasem ada sejarah dengan wajah kemajemukan, persaudaraan antaretnis yang sudah lama terjalin. Tak hanya dalam bermasyarakat, malah sampai perjuangan bersama melawan Belanda.

Keluarga seniman

Lahir dari keluarga seniman Jawa, Karnoto sejak kecil sudah akrab dengan karawitan dan seni tari. Ayahnya, Suyoto, adalah seniman karawitan tersohor pada era 1940-an sebagai pemain wayang orang dan pengrawit gamelan.

Selepas lulus sekolah guru, dia tidak hanya mengajar di sekolah dasar. Karnoto sudah biasa ikut grup wayang orang. Tugasnya bukan hanya sebagai pemain, melainkan juga pengrawit.

Karnoto dikenal sebagai tukang kendang andal. Tepukan kendangnya sangat disukai oleh banyak kalangan, terutama warga Tionghoa.

”Jadi pemain kendang itu merupakan hobi lahiriah saya. Sehari-hari saya guru, mengajar di sekolah dasar. Biasanya setelah selesai mengajar, kalau ada tanggapan untuk main, saya ikut saja,” ujar Karnoto.

Lasem, kota kecamatan sekitar 12 kilometer arah timur Kota Rembang, yang dikenal sebagai Tiongkok Kecil ini, memang sarat dengan budaya campuran Tionghoa dan Jawa.

Kota ini bahkan diyakini pernah menjadi bandar pelabuhan besar semasa awal abad ke-14, tempat kedatangan warga Tionghoa kali pertama di Jawa. Orang-orang Tionghoa dengan kelihaiannya berdagang dan menjadi saudagar juga menggemari kesenian Jawa.

Dalam percampuran budaya itulah kehidupan kesenian Karnoto juga berkembang dalam kemajemukan. Melalui tradisi seni, Karnoto mudah sekali menembus batas sekat etnis untuk masuk dalam pergaulan kalangan warga Tionghoa.

Sudah lazim, tradisi ritual sembahyangan kalangan warga Tionghoa selalu juga disertai tampilnya pentas musik gamelan karawitan.

Sebagai guru seni, Karnoto mengajar pula kegiatan ekstrakurikuler seni tari di Sekolah Dasar (SD) Wijaya Kusuma Lasem. Ini sekolah di kawasan pecinan yang murid-muridnya, kala itu, kebanyakan keturunan warga Tionghoa.

Di sekolah ini Karnoto menciptakan pasangan tari klasik Menakjinggo Dayun yang dimainkan oleh penari putri dan putra dari keturunan Tionghoa pada 1982. Penari Menakjinggo bernama Syang Kie dan penari Dayun, San Die, murid sekolah SD Kusuma.

Tari Menakjinggo ini memukau ketika tampil di tingkat kabupaten dan tingkat provinsi. Puncaknya 1983, Karnoto tampil membawa penari Menakjinggo menari di Istana Negara di hadapan Presiden Soeharto.

Menggerakkan seni tari

Sebagai daerah pesisiran, seni tari Jawa yang berkembang di Lasem, Rembang, berkiblat ke Solo dan Yogyakarta. Dua daerah ini masih menjadi sentral seni tari dan seni karawitan. Pada 1976, Karnoto menimba kedua ilmu itu di Solo.

Pada 1982, Karnoto mendirikan sanggar tari Asri Budaya di desanya. Berdirinya sanggar tari ini bukti Karnoto tidak mau usaha membudayakan kesenian tradisi seperti kepaten obor (kehilangan penerus).

Usaha keras Karnoto memperdalam sabetan tarinya membuahkan hasil pada anak didik sanggar. Murid-murid sanggar yang sudah mahir sangat dikenal di kalangan masyarakat pesisir Jawa.

Meski sudah pensiun sebagai guru seni, Karnoto masih setia mengajar seni tari di sejumlah sekolah di Lasem, Rembang. Di SMA Negeri Lasem, Karnoto memelopori tumbuhnya grup kesenian wayang orang di kalangan pelajar.

Sudah enam tahun wayang orang selalu dipentaskan oleh siswa setiap angkatan di sekolah itu.

Di sanggarnya kini terdapat 50 anak didik yang masih belajar seni tari dan karawitan. Semua murid dapat belajar tanpa dipungut biaya.

Kini, berbekal pengalamannya itu, Karnoto tengah menyiapkan Desa Sendangasri sebagai desa wisata seni tari.

Karnoto telah menjadikan seni tidak sekadar pertunjukan, tapi juga perekat, sekaligus penguat kemajemukan warga Lasem, Rembang. (Winarto Herusansono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com