Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lukisan Daun Bodhi Tarik Minat Turis Waisak di Borobudur

Kompas.com - 11/05/2017, 08:16 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com - Lukisan dari daun pohon Bodhi menarik wisatawan di Candi Mendut dan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, selama perayaan hari Tri Suci Waisak 2561 BE/2017.

Lukisan ini termasuk unik karena terbuat dari daun pohon bodhi asli yang dinilai sakral oleh umat Buddha.

Adalah Untung Marzuki (38), salah satu pelukis daun bodhi yang membuka lapak di dekat komplek Candi Mendut, Mungkid, Magelang. Hari raya Waisak menjadi momentum meraup keuntungan lebih besar dibanding hari-hari biasanya.

Sebab, Candi Mendut dan Candi Borobudur selalu dibanjiri wisatawan, dan tentu umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara untuk melaksanakan kegiatan keagamaan.

"Ya, ada peningkatan penjualan dibanding hari-hari biasa," kata Untung, ditemui di lapaknya, Rabu (10/5/2017).

(BACA: Kupat Tahu Pojok, Hidangan Khas Magelang Kegemaran Artis hingga Presiden)

Jika biasanya pada hari biasa, ia bisa menjual lukisan ukuran postcard antara 10-20 buah per hari, pada Waisak bisa 2-3 kali lipat per hari. Harganya berkisar Rp 25.000 - Rp 2 juta per buah. Mahalnya lukisan tergantung kerumitan dan ukuran lukisan.

"Peminatnya kebanyakan turis asing. Mereka berani beli lebih mahal karena mereka menghargai proses sebuah karya seni," jelasnya.

Ide pembuatan lukisan daun bodhi dimulai sejak 2008. Ketika itu Untung memang sudah gemar melukis tapi masih menggunakan media biasa. Ia berfikir saat itu belum ada suvenir yang benar-benar khas Candi Borobudur atau Mendut.

Hal itu berbeda dengan Yogyakarta yang sudah memiliki wayang kulit, kaos, batik dan sebagainya.

Ia lantas mencoba memanfaatkan daun pohon bodhi yang banyak dijumpai di sekitar rumahnya di dekat dua candi itu. Ia keringkan daun tersebut lalu dilaminating dibuat mirip tirai.

"Waktu itu belum ada suvenir khas Borobudur. Lalu saya cuma iseng pakai dauh Bodhi, saya laminating biasa. Tapi ternyata ada yang minat, turis Korea waktu itu," tuturnya.

Sejak itu bapak tiga putra ini berinisiatif untuk mengembangkannya. Daun bodhi yang awalnya biasa kemudian ia bentuk sedemikiam rupa melalui proses tertentu.

"Untuk melukisnya pakai cat biasa. Tapi yang lama adalah proses mengeringkan daun bodhi itu supaya hasilnya bagus," ucapnya.

Ia melanjutkan, proses awal daun bodhi diambil dari pohon yang usianya tidak kurang dari 10 tahun. Kemudian daun bodhi berwarna hijau itu direndam ke dalam air tidak bersih.

"Daun direndam bisa di kolam, pakai air yang biasa, tidak bersih malah lebih baik karena bakteri-bakteri itu akan melunturkan hijau daun. Waktu perendaman sekitar 1 bulan, tidak boleh lebih karena daun akan busuk," jelasnya.

Setelah direndam, daun-daun tersebut kemudian diangkat, dibersihkan, dan dikeringkan. Daun yang tinggal tulang-tulangnya itu tidak boleh terkena sinar matahari langsung karena panas matahari bisa merubah bentuk asli daun.

"Jadi pengeringannya di angin-angin saja. Ini seni kesabaran memang, saat direndam juga tidak boleh ditumpuk-tumpuk, bisa rusak," paparnya.

Dauh bodhi memiliki keistimewaan dibanding daun-daun lainnya. Daun ini memiliki serat yang kuat, pori-pori padat, tulang daun terletak dimuka sehingga tampak lebih cantik.

Pohon bodhi, lanjutnya, diketahui mengeluarkan oksigen pada malam hari. Hal ini berbeda dengan pohon lain yang akan menghasilkan karbondioksida (CO2) pada malam hari.

"Itulah sebabnya Sang Buddha dahulu melakukam pertapa di bawah pohon ini, sampai sekarang pohon ini dianggap sakral oleh umat Buddha," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com