Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Maubesi dan Motadikin yang Menggoda

Kompas.com - 29/05/2017, 10:07 WIB

MENDUNG membayangi kawasan Cagar Alam Maubesi dan Pantai Motadikin, di desa Fahiluka, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, akhir Januari lalu. Itu pertanda hujan akan segera turun.

Kawasan itu merupakan salah satu tujuan wisata favorit yang ramai dikunjungi warga Indonesia di perbatasan RI dan Timor-Leste.

Sebuah gapura dengan panjang 10 meter dan lebar 3 meter terpajang di pintu masuk kawasan pantai wisata Motadikin. Di papan gapura tertulis ”Selamat datang di Pantai Wisata Motadikin.”

Di salah satu sisi gapura terdapat pos jaga. Sayang, kaca bangunan pos itu pecah berhamburan di lantai. Belum diketahui apa tujuan dan siapa yang melakukan hal itu.

Sekitar 10 meter dari gapura, saat memasuki kawasan pantai, terdapat tulisan lagi di sisi kiri jalan, ”Kawasan Cagar Alam Maubesi”. Cagar alam ini ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 394/Kpts/Um/5/2011 tanggal 7 Mei 2011. Luas kawasan 3.246 hektar (ha).

(BACA: Mimpi Fernando da Silva, Pariwisata Timor Leste seperti Bali)

Di kawasan itu terdapat Pantai Motadikin dengan panjang garis pantai sekitar 10 km. Sepanjang bibir pantai dihuni sekitar 220 keluarga. Mereka adalah petani-nelayan lokal dan warga dari luar.

Ratusan perahu nelayan rapi berjajar di sepanjang garis pantai. Saat itu cuaca sedang tidak bersahabat bagi nelayan.

Tampak rumah semut dengan ketinggian sekitar 1 meter dari permukaan tanah bertebaran tak beraturan di sejumlah titik di kawasan cagar alam. Tampak pula hamparan berbagai jenis pohon bakau di sepanjang pesisir. Di situ ada delta dan muara Sungai Benanain.

Udang dan bandeng

Di muara Sungai Benanain, warga menebar benih udang dan bandeng. Selain berwisata pantai, pengunjung dapat memanfaatkan waktu untuk berbelanja ikan air tawar dan udang di tambak itu.

(BACA: NTT Gencar Promosikan Taman Laut Alor ke Mancanegara)

Sekitar 3 km sebelum memasuki kawasan Cagar Alam Maubesi, pengunjung bisa menyaksikan kampung adat Maneken, di Desa Fahiluka. Kampung ini terletak sekitar 150 meter dari ruas jalan menuju Pantai Motadikin.

Warga setempat belum mau menerima listrik, televisi, radio, komputer, dan hasil teknologi lain. Mereka lebih suka menggunakan peralatan tradisional dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Sebagian kawasan delta Maubesi terkenal dengan buaya muara. Hampir setiap tahun ada kasus kematian warga lokal karena digigit buaya. Sejak 2006-2016, sebanyak 17 warga tewas akibat diserang buaya.

Tidak heran, jika pada pintu masuk Pantai Motadikin terdapat papan peringatan bertuliskan ”Sayangilah jiwa Anda. Waspadalah terhadap kehadiran buaya di sekitar Anda”.

Pemerintah Kabupaten Malaka menempatkan dua pawang buaya untuk menjaga pantai itu. Mereka adalah anggota staf Dinas Pariwisata Kabupaten Malaka. Pawang buaya memiliki keterampilan khusus menghalau dan menjinakkan buaya.

Selama ini belum ada buaya yang memasuki kawasan Pantai Motadikin. Buaya biasanya ditemukan di luar kawasan pantai, terutama di wilayah muara Benanain.

Paul Manehat, salah satu tokoh adat Malaka, mengatakan, buaya merupakan jelmaan dari leluhur orang Timor. Buaya tidak menggigit orang sembarangan, kecuali mereka yang memiliki kesalahan seperti mencuri atau berbuat asusila terhadap anak gadis orang.

”Kadang anak-anak bermain dekat buaya, tetapi tidak mengganggu mereka. Buaya tahu anak-anak itu tidak berdosa. Mereka adalah anak cucu leluhur Timor yang menjelma dalam rupa buaya. Kepercayaan ini menyebar di seluruh daratan Pulau Timor. Pulau ini menyerupai seekor buaya sedang merayap,” kata Manehat.

Bibir Pantai Motadikin dengan pasir berwarna abu-abu kehitaman memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Pantai ini terus menarik minat pengunjung.

Setiap hari libur dan sore hari, Motadikin dikunjungi penduduk lokal, terutama kaum muda. Mereka berolahraga, berenang, bernyanyi, bercengkerama, dan berlatih olahraga bela diri.

Wilayah perbatasan

Motadikin berada di kawasan Cagar Alam Maubesi. Sekitar 4 km arah timur Cagar Alam Maubesi terdapat garis batas negara Timor-Leste, tepatnya di Distrik Suai. Titik batas negara itu ditandai dengan Sungai Telus, cabang Sungai Benanain.

Embusan angin disertai percikan air laut membuat tubuh terasa sejuk dan nyaman. Jajaran pohon kelapa sepanjang pantai diselingi rimbunan pohon bakau dan pohon waru melengkapi keindahan panorama pantai. Namun, di musim hujan pantai tampak kurang terawat.

Pemkab Malaka memanfaatkan pantai itu untuk berbagai kegiatan, terutama pelantikan pejabat, seperti kepala desa, pimpinan SKPD, dan seminar yang diselenggarakan pemerintah.

Pemanfaatan Pantai Motadikin oleh pemda berlangsung sejak Malaka masih bergabung dengan kabupaten induk, yakni Belu. Malaka menjadi daerah otonom sejak 2013.

Para nelayan yang berdiam di bibir pantai sangat ramah. Mereka menyapa setiap pengunjung dengan sapaan maun yang berarti saudara atau teman.

Para nelayan ini tidur di rumah panggung dengan ketinggian sekitar 4 meter dari permukaan tanah. Tujuannya untuk menghindari banjir dan ancaman buaya.

Petugas lapangan Dinas Pariwisata Kabupaten Malaka, Yoseph Aleksander Kali, yang berjaga di depan pos pintu masuk pantai mengatakan, jumlah pengunjung pantai terus meningkat.

Pada 2014, jumlah pengunjung rata-rata 500 orang per bulan dan pada tahun 2016 meningkat jadi 2.000 pengunjung. Pengunjung terbanyak pada hari Minggu dan hari libur.

Malam penutupan tahun 2016, sekitar 10.000 orang memadati pantai itu. Mereka membuat api unggun, bermain musik, memasak makanan, dan berpesta secara kelompok sampai pagi hari. Bahkan, sebagian dari mereka bermalam di pantai.

”Jumlah pengunjung ini sesuai jumlah karcis yang dikeluarkan. Sejak tahun 2016, diberlakukan karcis masuk pantai atau kawasan cagar alam. Orang dewasa Rp 2.000 per orang, anak-anak Rp 1.000 per orang, kendaraan roda empat Rp 5.000 per unit, dan sepeda motor Rp 3.000 per unit,” kata Kali.

Tahun 2002, Pemda Belu membangun 10 lopo, rumah teduh berbentuk lingkaran berukuran sekitar 12 meter persegi dengan bangku duduk. Bangunan ini dilengkapi kamar mandi dan kakus.

Lopo beratap ilalang tanpa dinding. Satu unit lopo cukup untuk 10 orang. Sayang, bangunan tersebut tidak dirawat. Lopo-lopo itu diterjang angin hingga rusak pada 2010.

Tidak hanya lopo, akses jalan menuju pantai perlu pembenahan. Jarak dari Betun, baik menuju Pantai Motadikin maupun kawasan Cagar Alam Maubesi, hanya 15 km, tetapi butuh waktu 50 menit untuk mencapai pantai itu. Ruas jalan berlubang di sepanjang jalan.

Kali mengatakan, ke depan Dinpar Malaka berencana melibatkan masyarakat setempat untuk menjaga kawasan Cagar Alam Maubesi, termasuk Pantai Motadikin.

Mereka bertugas menjaga keamanan dan ketertiban pantai, menjaga kebersihan, menjaga kerimbunan pohon-pohon, baik di kawasan cagar alam maupun di wilayah pantai wisata. (KORNELIS KEWA AMA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com