Saat itu, untuk menghidupi keluarganya, ia memilih bekerja di pabrik makanan selama tiga tahun. Selain untuk mencari uang, Rustono berniat mempelajari etos kerja orang Jepang di pabrik makanan sehingga bisa ia terapkan nanti di pabrik tempenya.
Selama empat bulan tersebut, selepas pulang kantor, Rustono terus mencoba membuat tempe namun hasilnya nihil. Sampai pada musim semi, ia coba menggunakan air gunung dari kuil di sana dan berhasil membuat tempe. Tapi ia tak tahu aman dikonsumsi atau tidak.
Pulang ke Indonesia pun menjadi jalan keluarnya. Sembari bertemu sang ibu, ia belajar ke lebih dari 60 pengrajin tempe di Jawa. Pengrajin tersebut berada di Jogja, Semarang, Solo, Grobogan, hingga Bogor.
Sepulangnya ke Jepang, dengan membawa pengetahuan membuat tempe yang baik, ia langsung mengaplikasikannya dan menjualnya hanya untuk orang Indonesia.
Akhirnya 20 tempe perama buatannya laku terjual pada orang Indonesia di sana. Walaupun beralasan saling tolong-menolong, akhirnya kurang dari enam bulan ia membuktikan usahanya terjual. Dengan alat seadanya ia pun terus berusaha membuat tempe untuk dijual kepada temen-temannya.
Petaka di musim salju
Suatu saat ketika temannya yang membeli semakin berkurang, Rustono mulai menawarkan pada para pemilik resto, hotel, katering, dan sebagainya. Hari pertama ada 10 tempat menolaknya, hari kedua 15 tempat, hari ketiga 20 tempat, dan seterusnya. Tempe yang tak laku pun ia makan sendiri.
“Sampai tempat ke-30 saya mulai stress juga, mau ngomong pake kata-kata apa juga sudah tidak mempan, tidak akan diterima. Masa dari 30 tempat, satu pun gak ada yang mau terima? Akhirnya tanpa basa-basi, saya kasih saja ke orang lalu pergi,” ujarnya sambil memeragakan.
Saat memasuki musim salju, petaka pun bertambah panjang. Tempenya tak bisa diproduksi, karena suhu di luar mencapai minus 10 derajat Celcius. Sedangkan jamur pada tempe hanya tumbuh pada suhu 31 derajat Celcius. Belum lagi modalnya yang tak kunjung kembali.
Di sana ia mengaku sering termenung di rumah akibat frustasi dengan usahanya. Namun ternyata sang istrilah yang datang menyemangati.
“Istri saya datang dan mengingatkan tentang mimpi-mimpi yang pernah saya ukir di selembar peta Jepang. Saya menandai banyak kota, untuk kemudian hari tempe bisa tersebar di seluruh Jepang lewat kota itu,” ujarnya.
Penolakan-penolakan yang ia alami tak juga melunturkan semangatnya untuk bertarung di Negeri Samurai itu. Di tengah keterbatasan alat dan biaya, ia memanfaatkan selimut elektrik untuk menciptakan suhu ruangan 31 derajat Celcius agar tetap bisa memproduksi tempe.
Walau susah payah membuatnya, tempe masih tak kunjung laku. Penolakan demi penolakan seolah menjadi sahabat sejatinya kala itu.
Menurutnya saat itu (1999) merupakan titik terendahnya, ditambah anak pertama yang lahir. Strategi Rustono kala itu hanyalah menghemat apapun, membuat apapun dengan bujet paling minim.
“Kenapa saya teguh ditolak? Karena saya tahu impian saya jauh lebih besar dari tantangan yang saya hadapi, dan tau kalau mencapai impian itu tidak mudah. Jadi diperbesar saja impiannya sekalian yang konyol,” pekiknya.