Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Makanan Jalanan adalah Leluhurmu

Kompas.com - 12/06/2017, 07:41 WIB

MAKANAN jalanan tak sekadar soal rasa. Ia menyimpan cerita, nostalgia, juga kejutan. Kepadanya terselip kisah tentang leluhurmu.

Jika kita berusaha menyangkal potret kemajemukan bangsa, tanyakan dulu pada selera lidah. Bagaimana mengingkari kelezatan yang telanjur akrab?

Harum aroma iga bakar perlahan menyebar di lapangan Sunset Venue Asian Drive SM, Mall Asia, Manila, Filipina, Rabu (31/5/2017). Aroma itu seolah-olah membius pengunjung festival makanan jalanan di area itu.

Dalam waktu lima menit, gerai iga bakar chef Yudi dari Indonesia ramai didatangi pembeli yang penasaran. Iga bakar yang berwarna karamel itu pun laris manis.

Iga bakar khas Warung Sunset dari Bali hadir di World Street Food Congress di Manila. Chef Yudi, pengelola warung itu, mewakilkan stafnya untuk memasak langsung iga di festival jajanan kaki lima terbesar di dunia ini.

(BACA: Martabak Manis Wakili Indonesia di Pentas Dunia)

Meski berada jauh dari tempat asalnya, iga bakar khas Bali dari chef Yudi itu tetap memakai bumbu asli Bali dengan sentuhan barbeque.

Lantaran kencur tak ada di Manila, ia bawa dari Indonesia. Pemanggangannya pun tetap memakai arang agar bisa menebar aroma menggoda bak makanan dari surga.

Tak jauh dari iga bakar chef Yudi, tim Jerman menggoda para pemburu makanan dengan memasak sosis bratwurst, makanan ringan tradisional Jerman yang gurih dan bertekstur ”kres-kres”. Sosis itu khusus dibuat fresh untuk menjaga kekuatan rasanya.

(BACA: Menjajal Nasi Goreng Kaki Lima yang Disantap Jokowi dan Para Menteri)

Ulf Tassilo Muench, chef dari tim Jerman, mengenalkannya sebagai makanan yang merefleksikan kultur kuliner Jerman. ”Jangan samakan dengan sosis beku. Punya kami kaya rasa dan tekstur warisan leluhur,” katanya.

Tiga potong besar sosis yang baru saja keluar dari pembakaran pun dipotongnya untuk membuktikan tekstur kenyal dan ”kres-kres” yang dibilangnya. Saat itu juga penonton hampir bersamaan menelan ludah. ”Hampir saja saya pingsan mencium aromanya,” kata salah seorang penonton.

Tidak ada yang lebih menggoda dari makanan kaki lima yang dibuat dengan sukacita dari resep nenek moyang. Di jambore makanan jalanan World Street Food di Manila, pekan lalu, seratusan ribu warga Manila dan turis asing bergelombang datang untuk melahap makanan jalanan terbaik di penjuru dunia.

Jambore yang mengambil tempat di situ menghadirkan 30 makanan jalanan terpilih dari 13 negara, mulai dari tuan rumah Filipina, Singapura, Indonesia, hingga Jerman dan Meksiko. Pelaksanaannya diprakarsai oleh Makansutra, organisasi nonpemerintah asal Singapura dan Kementerian Pariwisata Filipina.

Di tempat itu, pemburu makanan bisa menikmati kuliner kaki lima yang sebelumnya hanya bisa dilihat di televisi ataupun majalah. Chef yang dibawa pun benar-benar berasal dari negara asalnya. Makanan mereka dikurasi dan dipilih ketat untuk menjaga kualitas nama Makansutra.

Keunikan dan kelezatan makanan kaki lima mengundang banyak pengunjung datang. Kemeriahan festival makanan jalanan ini sudah terasa sejak hari pertama dibuka. Pada Rabu (31/5/2017), tepat pukul 16.00, saat gerbang dibuka, pemburu makanan langsung mengantre di gerai-gerai makanan favorit mereka.

Tahun sebelumnya, atau pada 2016, pengunjung mencapai 70.000 orang. Tahun ini antrean pembeli juga memanjang. Pengunjung bahkan rela mengantre lebih dari sejam untuk mendapatkan martabak cokelat dari Indonesia; nasi lemak dari Malaysia; atau sisig paella, makanan legendaris dari Filipina.

Berkembang

KF Seetoh, penggagas acara World Street Food Congress and Jamboree, yang berinisiatif membawa makanan jalanan yang berkualitas mendunia.

Menurut dia, makanan kaki lima tak pernah ada matinya. Makanan ini bahkan berkembang di banyak negara dan menjadi alternatif utama orang bersantap. Penikmatnya hampir berasal dari semua kalangan.

Bahkan, chef kondang Anthony Bourdain yang sudah malang melintang di dunia kuliner dan kerap menghidangkan makanan fine dining pun jatuh cinta pada kaki lima.

Lewat makanan jalanan, menurut Seetoh, pembeli tak hanya mendapatkan rasa, tapi juga suasana, dan tentu saja cerita. Sejarah tentang martabak manis adalah salah satunya.

”Martabak manis ini bisa bercerita tentang sejarah leluhurmu (Indonesia) tentang migrasi masyarakat Tiongkok yang membawa hok lo pan (kue terang bulan) ke Bangka. Dari Bangka kue ini berakulturasi dengan rasa lokal dan Barat, jadilah martabak cokelat kacang. Kini di era modern, martabak manis bertransformasi menjadi martabak cokelat ala piza. Ini adalah heritage bangsamu,” kata Seetoh menjelaskan kepada Kompas.

Cerita yang sama bisa didapatkan dari makanan legendaris putu mayam. Makanan tersebut aslinya berasal dari India selatan, tetapi populer di Malaysia. Makanan ini juga dikenal dengan nama kue precet atau petulo di Indonesia.

Petulo biasa dijual abang bersepeda keliling di perkampungan dan lebih sering muncul di momen puasa. Selain rasa legit, kue asli kampung ini menyimpan sejarah perjalanan cikal bakal leluhur negeri ini.

Kerinduan pada makanan masa kecil juga menjadi alasan mengapa makanan jalanan yang mirip masakan ibu selalu dirindukan.

Sau Del Rosario, chef ternama di Filipina yang pernah menaklukkan Paris lewat hidangannya, rela melepas pekerjaannya di restoran ternama di Paris untuk membuka kafe bermenu lokal di Manila.

Makanan yang selalu ingin membuatnya pulang adalah sisig paella, masakan yang mirip tumis daging dengan nasi. Menurut dia, tidak ada yang lebih indah daripada masakan kenangan sang ibu.

Mengglobal

Dulu, 20 tahun lalu, makanan jalanan tak mendapatkan tempat di Singapura. Pemerintah awalnya tak mendukung ada kaki lima. Namun, makanan jalanan itu kini malah mendapatkan tempat yang istimewa setelah Makansutra mengumpulkan para hawker (julukan para pemilik kaki lima) di Gluttons Bay, membuat pusat kaki lima yang nyaman, bersih, dan akrab.

Dari kaki lima itu, Singapura menjadi salah satu surga kuliner dunia. Singapura yang tak mempunyai makanan otentik kini punya chili crab, makanan andalan mereka yang merupakan perpaduan budaya peranakan dan Malaya.

Gordon Ramsay, chef ternama dunia di salah satu episode Masterchef USA-nya, bahkan menamai kawasan itu sebagai pusat kuliner terenak.

Kini giliran chef Anthony Bourdain yang melirik konsep Gluttons Bay untuk dibawa ke New York.

Bourdain, yang sudah bergelut menjadi chef selama lebih dari 30 tahun, justru menemukan kegairahannya di makanan jalanan. Kini ia sedang membangun pusat kuliner kaki lima terbesar di New York.

Pusat kuliner yang ia beri nama Bourdain Market itu akan diisi dengan gerai makanan jalanan di penjuru dunia. Bukan yang sekadar goreng-gorengan, melainkan juga makanan yang punya sejarah, atau yang sangat kental rasa budayanya.

Dari Indonesia, Bourdain akan membawa rendang. Ia akan memboyong langsung pembuatnya untuk mengisi stall di New York. Soal harga tak akan jauh berbeda dengan harga asli kaki lima.

”Setelah sekian lama bergelut dengan rasa makanan, saya tak lagi menilai rasa makanan yang disuguhkan kepada kita. Yang saya butuhkan kini tak sekadar lezat, tapi jauh dari itu; kehangatan suasana, sentuhan budaya, dan nostalgia. Kamu bisa menemukannya di kedai yang pengelolanya memperoleh resep masakan turun-temurun, atau di kaki lima,” kata Bourdain.

Seperti halnya Bourdain, kita bisa saja terbiasa dengan makan makanan mahal dan berkelas. Tetapi, pada saatnya kita kembali rindu menikmati sebungkus nasi jamblang khas Cirebon atau ketoprak Jakarta buatan abang kaki lima. Oleh karena di jalananlah kelezatan bisa tercipta lewat spontanitas tanpa pretensi. (Siwi Yunita Cahyaningrum)

************************

Ingin mencoba wisata cruise gratis Singapura - Malaka - Singapura? Caranya gampang, ikuti kuis dari Omega Hotel Management di sini. Selamat mencoba!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com