Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Tokyo di Museum Edo-Tokyo

Kompas.com - 19/06/2017, 07:10 WIB

TOKYO adalah potret nyata wajah Jepang saat ini, yang merangkul dunia modern dan kemajuan teknologi sambil tetap mempertahankan sejarah dan identitas budaya mereka.

Bangunan pencakar langit dan deretan pertokoan mewah di Ginza, misalnya, bersanding apik dengan kuil tua dan bangunan bersejarah yang terawat baik, tersebar di penjuru kota.

Cikal bakal ibu kota Jepang itu adalah permukiman di dataran Kanto yang mulai dihuni sejak abad ke-3 sebelum Masehi. Sekitar abad ke-12, Gubernur Militer Provinsi Kanto Edo Shigenaga mendirikan kastil yang disebut Edojuku di sebelah barat aliran Sungai Sumida.

Tiga abad kemudian, tepatnya tahun 1457, Ota Dokan membangun Kastil Edo. Kawasan itu kemudian berkembang menjadi pusat kota Edo, sebelum kemudian namanya diubah menjadi Tokyo setelah era Restorasi Meiji.

Edo mengalami kemajuan pesat saat pemimpin militer Tokugawa Ieyasu memilih kota itu sebagai markas besar pasukannya pada 1590. Permukiman militer dan rakyat cepat berdiri dengan Kastil Edo sebagai pusatnya.

(BACA: Setelah Tokyo, Berliburlah ke Karuizawa Prince Ski Resort)

Ieyasu memperkuat kastil dengan membangun parit, jembatan, dan perumahan bagi tukang kayu, pandai besi, dan ahli pertukangan lainnya.

Kota ini pun memasuki era baru—yang kemudian disebut Periode Edo—setelah Ieyasu menjadi shogun atau pemimpin tertinggi militer yang ditunjuk oleh kaisar pada 1603.

Sejak saat itu, Ieyasu praktis menjadi penguasa Jepang dan Edo sebagai ibu kotanya meskipun secara resmi pemimpin Jepang adalah kaisar dengan pusat kekuasaan di Kyoto.

Di bawah pemerintahan Ieyasu, Edo berkembang menjadi kota yang kuat dan maju, yang berulang kali bangkit setelah dilanda gempa bumi, kebakaran, dan banjir bandang.

(BACA: Menikmati Panorama Tokyo dari Ketinggian 634 Meter)

Hal itu bisa dilihat jelas di Museum Edo-Tokyo, museum yang mengabadikan sejarah kemajuan Edo sejak era Shogun Tokugawa Ieyasu hingga Tokyo modern saat ini.

Museum Edo-Tokyo terletak di sisi timur Sungai Sumida, bersebelahan dengan Ryogoku Kokugikan, gedung olahraga terkenal yang setiap tahun menjadi tempat penyelenggaraan turnamen sumo, gulat tradisional Jepang.

Gedung ini secara rutin menggelar tiga turnamen sumo—dikenal dengan honbasho—yakni pada awal tahun (hatsu honbasho), musim panas (natsu honbasho) di bulan Mei, dan turnamen musim gugur (aki honbasho) di bulan September.

Lokasinya cukup mudah dijangkau karena tak jauh dari Stasiun Ryogoku di jalur JR Sobu atau stasiun kereta bawah tanah Ryogoku untuk jalur Toei-Oedo. Dapat juga menggunakan bus Toei rute 27, 28, dan 33, berhenti di halte Toei Ryogoku Ekimae.

Pengunjung museum dikenai tarif masuk 600 yen (Rp 72.000) untuk dewasa, 480 yen (Rp 57.600) untuk pelajar, dan 300 yen (Rp 36.000) untuk warga lanjut usia. Museum buka setiap hari pukul 09.30-17.30, dan hingga 19.30 pada hari Sabtu.

Bangunan museum ini terbilang unik, dibangun di atas empat pilar raksasa. Empat lantai pertama adalah ruang terbuka, lokasi penerima tamu, pameran semipermanen, dan toko cendera mata.

Adapun pameran permanen yang menceritakan sejarah Tokyo berada di lantai 5 dan 6. Di lobi lantai 6, pengunjung dapat meminta bantuan pemandu yang akan membantu menjelaskan koleksi pameran dalam delapan bahasa secara gratis.

Masa lalu Tokyo

Perjalanan menjelajahi masa lalu Tokyo ini dimulai dari lantai 6 saat pengunjung menyeberangi separuh bagian Nihonbashi atau Jembatan Jepang. Jembatan kayu ini dibangun dengan ukuran sesungguhnya, menyerupai jembatan yang didirikan di atas Sungai Sumida, pintu masuk dari timur ke kota Edo.

Di seberang jembatan, terpampang sejumlah maket yang secara detail menggambarkan bangunan dan kehidupan pada periode Edo. Ada maket yang menggambarkan lokasi pasar dan permukiman dengan lapangan terbuka di tengah setiap blok untuk tempat berkumpul.

Ada juga maket sebagian bangunan dari Kastil Edo, tempat tinggal Shogun Tokugawa Ieyasu dan para penerusnya, serta maket tempat tinggal Daimyo, tuan tanah atau pemimpin wilayah di bawah shogun.

Penjelajahan dilanjutkan di lantai 5 museum yang menampilkan model rumah kayu tempat tinggal warga di masa itu.

Terdapat juga delapan bagian lain yang menampilkan cara masyarakat berbagi informasi, perekonomian, budaya, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Edo.

Koleksi pameran di masa Edo ini diakhiri dengan model asli fasad teater kabuki Nakamura-za, tempat para pejabat dan rakyat biasa melepas lelah dengan menyaksikan pentas kabuki, pentas seni tari dan lagu tradisional Jepang.

Setelah melintas di bawah Nihonbashi, pengunjung memasuki era Tokyo, disambut dengan model asli gedung milik surat kabar Choya Shimbun.

Sejumlah maket dan model asli bangunan memperliihatkan perkembangan Tokyo setelah dinasti Shogun Tokugawa tumbang pada 1868 dan Jepang memasuki era Restorasi Meiji, merangkul revolusi industri.

Babak selanjutnya memotret kehancuran Tokyo saat terjadi gempa bumi dahsyat Kanto, disusul kebakaran yang menghanguskan hampir seluruh wilayah Tokyo pada 1923.

Salah satu bangunan yang hancur pada bencana ini adalah Menara Ryounkaku atau dikenal sebagai bangunan 12 lantai Asakusa.

Menara yang dibangun pada 1890 ini adalah bangunan tertinggi pertama di Jepang, yang di dalamnya terdapat sistem elevator (lift) pertama di Jepang.

Setelah bencana dahsyat itu, Tokyo dibangun lagi, untuk kembali hancur saat serangan udara dan bom pada akhir Perang Dunia II.

Keuletan bangsa Jepang membuat mereka bangkit kembali dan membangun Tokyo modern pascaperang hingga menjadi Tokyo yang kita kenal saat ini. (J WASKITA UTAMA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com