Menurut Rahma, acara ngaminang biasanya diikuti siapa saja yang ingin berbuka di masjid, terutama laki-laki. Jika ada perempuan ingin ikut serta, petugas masjid akan membawakan sagi ke area khusus untuk perempuan.
Menjelang pukul 17.30 waktu setempat, tamu-tamu mulai berdatangan. Keramaian dan kehangatan yang tercipta terasa menyenangkan. Tawa dan percakapan yang terdengar di teras masjid ini semakin mendekatkan hati warga.
Menjaga tradisi
Bupati Klungkung Nyoman Suwirta mengapresiasi tradisi ngaminang yang bisa menjadi contoh bagaimana menjunjung tinggi kebersamaan dan toleransi antarumat beragama. Generasi muda Gelgel, pesan Suwirta, harus menjaga estafet tradisi ini sampai kapan pun.
Agenda tahunan berbuka puasa lintas agama ini napasnya adalah kearifan menyama braya atau kebersamaan yang berawal dari sejarah terbentuknya kampung tersebut. Tujuan awalnya adalah mempererat hubungan persaudaraan antara keluarga Puri Klungkung dan Muslim di Gelgel.
Kampung Gelgel dipercaya merupakan kampung Muslim pertama di Pulau Bali. Meskipun tidak ada jejak fisik atau prasasti yang menyatakan hal itu, Raja Klungkung Ida Dalem Semara Putra, yang petang itu turut menghadiri tradisi ngaminang, menuturkan, keluarganya secara turun-temurun memercayai bahwa masyarakat Muslim di sini sudah ada sejak abad XIV.
Selanjutnya, akibat pengaruh perdagangan, muncul kampung-kampung Muslim di kabupaten lainnya, seperti di Buleleng, Kota Denpasar, dan Jembrana.
Dikisahkan, kedatangan umat Islam di Gelgel berawal dari kembalinya Raja Gelgel I Dalem Ketut Ngelingsir dari kunjungannya ke Jawa.
Ia diiringi para pengawal yang tidak kembali ke tanah asal. Di Bali, para pengawal yang beragama Islam ini kemudian diberi tempat dan menetap di Gelgel, lalu membangun Masjid Nurul Huda yang berarti cahaya petunjuk.
Penamaan Kampung Gelgel merupakan penghormatan penduduk Hindu yang berada di sekitarnya terhadap kaum Muslim.
Biasanya, masyarakat setempat memberi nama hanya sampai tingkat banjar yang cakupannya lebih besar daripada kampung.