Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Ngaminang" di Kampung Muslim Tertua di Bali

Kompas.com - 22/06/2017, 15:08 WIB

DI Gelgel, berdiam hati-hati yang damai. Di kampung Muslim tertua yang berada di Pulau Dewata ini, umat Islam dan umat Hindu duduk bersama. Bulan Ramadhan menjadi saksi kebersamaan mereka melalui tradisi ngaminang, makan bersama saat berbuka puasa.

Matahari semakin lengser ke barat ketika ibu-ibu bergantian datang ke Masjid Nurul Huda di kampung Muslim Gelgel, Kabupaten Klungkung, Bali, pekan lalu.

Mereka membawa sagi atau nampan berbentuk lingkaran besar. Isinya lengkap, mulai dari nasi, lauk pauk, kerupuk, hingga buah dan minuman kemasan. Sagi ini ditutup dengan saap atau semacam tudung saji khas Bali.

Hari itu memang istimewa. Bertepatan dengan dimulainya 10 hari kedua bulan Ramadhan digelarlah ngaminang, buka puasa bersama yang diikuti semua lapisan masyarakat, termasuk tokoh lintas agama, mulai dari bupati, keluarga Puri atau Kerajaan Klungkung, hingga para kepala desa sekitar.

(BACA: Serunya Berburu Takjil Berbuka Puasa di Halal Street Chiang Mai)

Ngaminang adalah budaya makan bersama dengan sagi sebagai alat sajinya. Orang Bali biasa menyebutnya tradisi magibung dengan empat orang duduk bersila melingkari satu sagi.

Di depan sagi itulah kebersamaan terasa. Tak hanya berbagi nasi lauk-pauk, tetapi juga cerita dan kegembiraan.

Sajian yang dihidangkan bukan berasal dari dapur umum para ibu, melainkan dari keluarga-keluarga yang mengantarkan sagi berisi nasi beserta lauk lengkapnya, sesuai kemampuan masing-masing.

Dengan begitu, satu sagi dengan sagi lainnya berbeda-beda isinya. Namun, itu tidak menjadi masalah karena intinya adalah berbagi keikhlasan menyediakan menu berbuka puasa. Sore itu, tersaji 91 sagi yang kemudian disusun berderet rapi di teras masjid.

(BACA: Tak Susah Jalani Ibadah Ramadhan di Korea Selatan...)

Salah satu warga, Buraidah (70), merasa beruntung karena mengalami tradisi turun-temurun ini sejak kecil.

Hari itu ia menyediakan menu nasi, ayam bumbu pedas, sate lilit, tempe, kuah nangka, kerupuk, dan buah pisang. Begitu pula dengan warga lainnya, Ayu Agustin (28) dan Rahma (33), yang membawa sagi dengan isi berbeda.

"Bapak perbekel atau kepala desa berpesan untuk tidak memasak lauk dengan bahan dari daging sapi karena ada tetangga dari umat Hindu yang ikut berbuka bersama di masjid. Kami harus menghargai itu karena sebagian besar umat Hindu tidak makan daging sapi. Sama halnya ketika umat Hindu menghargai umat Islam saat mengundang hajatan. Mereka juga tidak menyajikan masakan dari daging babi. Itu bukan masalah besar bagi ibu-ibu di sini,” kata Rahma dengan ramah.

Menurut Rahma, acara ngaminang biasanya diikuti siapa saja yang ingin berbuka di masjid, terutama laki-laki. Jika ada perempuan ingin ikut serta, petugas masjid akan membawakan sagi ke area khusus untuk perempuan.

Menjelang pukul 17.30 waktu setempat, tamu-tamu mulai berdatangan. Keramaian dan kehangatan yang tercipta terasa menyenangkan. Tawa dan percakapan yang terdengar di teras masjid ini semakin mendekatkan hati warga.

Menjaga tradisi

Bupati Klungkung Nyoman Suwirta mengapresiasi tradisi ngaminang yang bisa menjadi contoh bagaimana menjunjung tinggi kebersamaan dan toleransi antarumat beragama. Generasi muda Gelgel, pesan Suwirta, harus menjaga estafet tradisi ini sampai kapan pun.

Agenda tahunan berbuka puasa lintas agama ini napasnya adalah kearifan menyama braya atau kebersamaan yang berawal dari sejarah terbentuknya kampung tersebut. Tujuan awalnya adalah mempererat hubungan persaudaraan antara keluarga Puri Klungkung dan Muslim di Gelgel.

Kampung Gelgel dipercaya merupakan kampung Muslim pertama di Pulau Bali. Meskipun tidak ada jejak fisik atau prasasti yang menyatakan hal itu, Raja Klungkung Ida Dalem Semara Putra, yang petang itu turut menghadiri tradisi ngaminang, menuturkan, keluarganya secara turun-temurun memercayai bahwa masyarakat Muslim di sini sudah ada sejak abad XIV.       

Selanjutnya, akibat pengaruh perdagangan, muncul kampung-kampung Muslim di kabupaten lainnya, seperti di Buleleng, Kota Denpasar, dan Jembrana.

Dikisahkan, kedatangan umat Islam di Gelgel berawal dari kembalinya Raja Gelgel I Dalem Ketut Ngelingsir dari kunjungannya ke Jawa.

Ia diiringi para pengawal yang tidak kembali ke tanah asal. Di Bali, para pengawal yang beragama Islam ini kemudian diberi tempat dan menetap di Gelgel, lalu membangun Masjid Nurul Huda yang berarti cahaya petunjuk.

Penamaan Kampung Gelgel merupakan penghormatan penduduk Hindu yang berada di sekitarnya terhadap kaum Muslim.

Biasanya, masyarakat setempat memberi nama hanya sampai tingkat banjar yang cakupannya lebih besar daripada kampung.

Namun, untuk menghormati eksistensi kaum Muslim di sana, diberikanlah nama untuk kampung yang mereka tempati itu, yakni Kampung Gelgel. Di atas Kampung Gelgel sebenarnya ada Desa Gelgel yang mayoritas penduduknya menganut Hindu.

Di Desa dan Kampung Gelgel, mereka hidup berdampingan dan berketurunan. Ada warga Muslim Gelgel yang menikah dengan warga Hindu dan sebaliknya. Hingga sekarang, warga Muslim Kampung Gelgel mencapai 1.135 jiwa yang terhimpun dalam 335 keluarga.

Menurut Perbekel Gelgel Sahidin, ngaminang bisa dikatakan juga sebagai wujud syukur atas terwujudnya harmoni antarumat beragama di Pulau Bali.

Warga Hindu biasa memanggil warga yang beragama Islam dengan sebutan nyama slam atau saudara Islam. Sebutan yang indah terdengar di telinga dan membahagiakan. Ketika mereka bertemu, akan terdengar sapaan yang menyejukkan hati, asalamualaikum nyama slam.... (AYU SULISTYOWATI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2017, di halaman 1 dengan judul ""Ngaminang" di Kampung Muslim Tertua di Bali".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com