Selain limbahnya ramah lingkungan, bahan alam itu memberi kesan lebih elegan dan mahal pada batik.
Siti ingat, pada masa lalu neneknya telaten dalam pewarnaan. Kain direndam dalam guci berisi air rebusan tanaman. Perendaman bisa seminggu dan berulang-ulang. Hasilnya adalah perpaduan warna pada motif yang sangat indah. Batik-batik itu pun tetap awet hingga kini.
Berdasarkan buku Motif Batik Jambi yang ditulis sejumlah budayawan (2012), batik Jambi pertama kali diperkenalkan di kawasan Seberang, Kota Jambi, pada abad ke-17 Masehi. Keterampilan itu dibawa dari Jawa.
Saat berkembang, batik menjadi kain khusus yang dipakai keluarga Sultan Jambi. Mingguan kolonial ”Timur dan Barat” Nomor 52 Tahun 1929 dan Nomor 2 Tahun 1930 menyebutkan betapa warna merah mencerminkan identitas batik Jambi.
Dokumen lain menyebut, salah seorang bangsawan, HIC Petri, memiliki lima helai kain batik yang sangat indah dan tampak jelas dibuat dengan sangat teliti. Kain-kain itu diperoleh dari sentra batik di kawasan Seberang.
Kolonial Institut Valkenkunde Nomor 556 Tahun 1923 menyebutkan bahwa selain batik, Jambi juga telah mengenal benang emas dan tenun ikat.
Salah satu kain yang dimiliki bangsawan setempat bermotif bunga mekar yang tampak seperti bintang bertaburan dengan warna biru muda dan putih dalam petak bersulam emas.
Hasil kerajinan batik, benang emas, dan tenun ikat dulu hanya dikerjakan segelintir orang. Seiring dengan kekalahan Sultan Jambi pada awal abad ke-20 Masehi, redup pula kerajinan batik. Hasil kerajinan itu lambat laun hanya tinggal nama karena resep membuat warna merah terkubur bersama ahlinya.
Setelah lama meredup, batik Jambi dihidupkan kembali pada 1980-an. Istri-istri gubernur pada era itu, yakni Sri Soedewi Maschun Sofwan dan Lily Abdurrahman Sayoeti, mendatangkan perajin batik dari Yogyakarta dan melatih kaum perempuan di kawasan Seberang.
Tradisi membatik akhirnya hidup kembali, lengkap dengan kekhasan motif, seperti Angso Duo, Tampuk Manggis, Kapal Sanggat, Kuau Berhias, Batanghari, Antelas (tanaman), Awan Berarak, Candi Muaro Jambi, Pucuk Rebung, dan Riang-riang.
Meskipun pelatihan berhasil menghidupkan kembali tradisi itu, hampir semua perajin muda telah benar-benar beradaptasi dengan pewarnaan kimia. Tinggal segelintir perajin pewaris batik turun-temurun mencoba bertahan dengan tradisinya. (IRMA TAMBUNAN)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.