Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pencarian Si Merah yang Hilang

Kompas.com - 22/06/2017, 19:52 WIB

BUTUH perjuangan untuk mengumpulkan semua kekayaan warna alam batik Jambi. Hampir satu abad tradisi kerajinan tangan itu tenggelam bersama kekalahan Sultan Jambi dari Kolonial.

Setelah kini batik kembali populer di Jambi, tradisi itu tak lagi sama. Pewarnaan batik yang bertumpu pada ragam tanaman lokal kini nyaris punah.

Bahkan, usaha Azmiah (51), perajin batik Jambi, mendapatkan tanaman penghasil warna merah belum menghasilkan. Merah identitas warna batik asal Jambi. Hampir setiap produksi batik Jambi memerlukan paduan warna merah, baik merah kelam maupun terang.

”Inilah yang jadi kendala. Kami belum bisa mendapatkan lagi bahan pewarna alam,” ujar Azmiah, Senin (19/6/2017). Ia masih memanfaatkan pewarna kimia.

(BACA: Batik Gonggong, Ciri Khas Tanjungpinang dengan Sentuhan Pekalongan)

Azmiah masih ingat semasa kecil kerap diajak ibunya, almarhum Asmah, keluar masuk hutan. Pada waktu itu, sekitar rumah tinggalnya di kawasan Seberang, Kota Jambi, masih dikelilingi hutan rakyat.

Sangat mudah mendapatkan tanaman yang dibutuhkan untuk sumber pewarnaan. Sebut saja kayu bulian, kulit lempato, kulit kayu marelang, getah kayu tunjung, atau kayu jelawe.

Untuk warna merah, mereka bisa menggunakan jernang. Ada pula yang menggunakan kayu secang. Namun, kata Edi Sunarto, suaminya, dua jenis tanaman itu langka. ”Untuk mendapatkan sulit sekali, harus ke hutan yang jauh di pedalaman,” ujarnya.

Pemilik usaha Rumah Batik Azmiah itu kini lebih banyak memanfaatkan indigo sebagai bahan pewarna alam. Untuk merah, ia terpaksa menggunakan pewarna kimia.

(BACA: Melihat Lebih Dekat Batik Khas Raja Ampat)

Siti Hajir (44), pemilik usaha Rumah Batik Siti Hajir, mencoba bertahan memanfaatkan bahan alam yang ada di sekitar rumahnya. Sebut saja buah jengkol dan serbuk kayu bulian dimanfaatkan untuk memberi warna coklat pada kain batiknya.

Untuk warna krem, ia gunakan rebusan daun jambu dan warna kuning dari rebusan nangka. Namun, Siti juga terkendala mendapatkan bahan alam pewarnaan merah.

Menurut Siti Hajir, meskipun membutuhkan proses lebih panjang, harga kain batik dengan pewarna alam jauh lebih tinggi.

”Selisihnya bisa mencapai Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per meter dibandingkan dengan batik dengan pewarnaan kimia,” kata Siti. Ia merupakan generasi ketiga dari usaha batik keluarganya.

Selain limbahnya ramah lingkungan, bahan alam itu memberi kesan lebih elegan dan mahal pada batik.

Siti ingat, pada masa lalu neneknya telaten dalam pewarnaan. Kain direndam dalam guci berisi air rebusan tanaman. Perendaman bisa seminggu dan berulang-ulang. Hasilnya adalah perpaduan warna pada motif yang sangat indah. Batik-batik itu pun tetap awet hingga kini.

Berdasarkan buku Motif Batik Jambi yang ditulis sejumlah budayawan (2012), batik Jambi pertama kali diperkenalkan di kawasan Seberang, Kota Jambi, pada abad ke-17 Masehi. Keterampilan itu dibawa dari Jawa.

Saat berkembang, batik menjadi kain khusus yang dipakai keluarga Sultan Jambi. Mingguan kolonial ”Timur dan Barat” Nomor 52 Tahun 1929 dan Nomor 2 Tahun 1930 menyebutkan betapa warna merah mencerminkan identitas batik Jambi.

Dokumen lain menyebut, salah seorang bangsawan, HIC Petri, memiliki lima helai kain batik yang sangat indah dan tampak jelas dibuat dengan sangat teliti. Kain-kain itu diperoleh dari sentra batik di kawasan Seberang.

Kolonial Institut Valkenkunde Nomor 556 Tahun 1923 menyebutkan bahwa selain batik, Jambi juga telah mengenal benang emas dan tenun ikat.

Salah satu kain yang dimiliki bangsawan setempat bermotif bunga mekar yang tampak seperti bintang bertaburan dengan warna biru muda dan putih dalam petak bersulam emas.

Hasil kerajinan batik, benang emas, dan tenun ikat dulu hanya dikerjakan segelintir orang. Seiring dengan kekalahan Sultan Jambi pada awal abad ke-20 Masehi, redup pula kerajinan batik. Hasil kerajinan itu lambat laun hanya tinggal nama karena resep membuat warna merah terkubur bersama ahlinya.

Setelah lama meredup, batik Jambi dihidupkan kembali pada 1980-an. Istri-istri gubernur pada era itu, yakni Sri Soedewi Maschun Sofwan dan Lily Abdurrahman Sayoeti, mendatangkan perajin batik dari Yogyakarta dan melatih kaum perempuan di kawasan Seberang.

Tradisi membatik akhirnya hidup kembali, lengkap dengan kekhasan motif, seperti Angso Duo, Tampuk Manggis, Kapal Sanggat, Kuau Berhias, Batanghari, Antelas (tanaman), Awan Berarak, Candi Muaro Jambi, Pucuk Rebung, dan Riang-riang.

Meskipun pelatihan berhasil menghidupkan kembali tradisi itu, hampir semua perajin muda telah benar-benar beradaptasi dengan pewarnaan kimia. Tinggal segelintir perajin pewaris batik turun-temurun mencoba bertahan dengan tradisinya. (IRMA TAMBUNAN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com