Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menikmati Deburan Curug Kali Karang

Kompas.com - 27/06/2017, 12:39 WIB

HAMPARAN sawah membentang mengapit Kali Karang yang dasarnya dipenuhi bebatuan. Air bening mengalir tenang. Jalan tanah berbatu mengantar pengunjung menuju perbukitan hijau yang seolah menyembunyikan curug atau air terjun setinggi 35 meter di Desa Panusupan, 35 kilometer arah timur laut dari Alun-alun Purbalingga, Jawa Tengah.

Semakin mendekati air terjun, suara gemuruh dan deburan air yang menghantam bebatuan kian jelas terdengar. Gemericik air pun melengkapi irama alam.

Air terjun tiga tingkat itu mengalir deras di antara ceruk tebing batu-batu besar. Aliran yang bertingkat membuat pengunjung dapat mendekat dan menikmati jatuhnya air ke dalam kedung.

(BACA: Bertualang ke Air Terjun Tumpak Sewu, Wow Indahnya...)

Di kedung atau kolam alami sedalam lebih kurang 2 meter, pengunjung bisa berenang. Jika tidak bisa berenang, hamparan bebatuan yang dilewati aliran air bisa menjadi tempat bermain air sekaligus menjadi tempat swafoto yang mengasyikkan.

“Hampir setiap akhir pekan, kami mandi di sini sepulang sekolah,” kata Satria (13), siswa SMP Negeri 2 Rembang, Purbalingga, Sabtu (15/4/2017).

Satria dan rekan-rekannya menghabiskan akhir pekan dengan bermain air dan berenang di bawah deburan curug Kali Karang. Meski harus menempuh jarak sekitar 2 kilometer dari sekolah, mereka mengatakan senang berada di tempat itu. ”Airnya segar, udaranya sejuk,” ujar Satria.

(BACA: 3 Pilihan Aktivitas Menikmati Air Terjun Tumpak Sewu di Lumajang)

Hal serupa disampaikan Daryati (16) dan Seli (16), siswa SMP Negeri 4 Rembang. Bersama sekitar 10 temannya, mereka bercengkerama. Duduk di bebatuan sungai sambil mencelup-celupkan kaki ke air yang jernih itu.

”Saya ingin main air saja, tidak mau berenang,” kata Seli.

Siang itu, sejumlah warga dari desa sekitar juga membawa keluarganya untuk bermain air dan menikmati kesegaran alam nan asri itu. ”Hampir tiga hari sekali kami ke sini sekaligus mengajari anak berenang,” kata Riyatno (31) yang datang bersama istrinya, Musyati (25), dan anaknya, Vinda (9).

Inisiatif warga

Berkat kerja keras dan gotong royong 105 keluarga Dusun Pagelaran, Desa Panusupan, Kecamatan Rembang, Purbalingga, air terjun yang berpotensi wisata tersebut kini lebih mudah dijangkau banyak orang. Warga membabat semak belukar dan membuat jalan tanah selebar 3 meter dengan panjang 1 kilometer dari dusun ke curug tersebut.

Warga juga bahu-membahu membuat jembatan selfie (swafoto) sepanjang 70 meter di tepi tebing dari kayu yang dicat berwarna-warni dan sejumlah gazebo untuk berteduh. Biaya pembangunan sekitar Rp 245 juta berasal dari warga.

Karena di tempat itu terdapat bongkahan batu besar dikeramatkan yang disebut batu gilang, tempat wisata itu diberi nama Batu Gilang Green Park.

”Butuh waktu sekitar 2,5 bulan untuk membangun dan menyiapkan tempat ini,” kata Sarwono, warga dusun yang menjadi pengelola Batu Gilang Green Park.

Sekitar 200 meter dari batu gilang, terdapat pula sebongkah batu yang di atasnya ada ukiran berbentuk telapak kaki. Warga memercayai itu merupakan Tapak Bima, salah satu tokoh dalam pewayangan.

”Ini tapak kaki Bima sebelah kiri. Di desa sebelah ada batu yang juga berukir tapak Bima sebelah kanan,” kata Marsono (50), pemilik kebun di tempat batu Tapak Bima itu berada.

Kesejahteraan

Menurut Sarwono, obyek wisata itu bisa dikunjungi 100 pengunjung per hari. Dengan adanya akses yang lebih baik dan jembatan warna-warni, jumlah pengunjung diharapkan meningkat sehingga berdampak positif bagi kesejahteraan warga setempat.

Pengunjung yang akan menikmati jembatan swafoto harus membayar tiket Rp 5.000 per orang.

”Kami membangun tempat wisata ini tidak semata-mata mencari materi, tetapi untuk mempererat hubungan antarwarga. Kami ingin menghidupkan persatuan agar tidak terjadi perpecahan,” kata Sarwono.

Kepala Desa Panusupan Imam Yulianto menyatakan, di desa seluas 930 hektar itu sedikitnya terdapat delapan lokasi yang sudah dikembangkan menjadi obyek wisata, yakni wisata religi Ardi Lawet Syeh Jambu Karang, Puncak Sendaren, Wanatirta, Igir Wringin, Puncak Slimbar Jaya, Susur Kali, Puncak Batur, dan Jembatan Cinta.

”Batu Gilang Green Park adalah destinasi wisata kesembilan di desa ini,” kata Imam.

Menurut Imam, jumlah pengunjung yang datang ke desa wisata ini mencapai 10.000 orang per bulan dengan perputaran uang sekitar Rp 300 juta. Dari 2.600 keluarga di desa itu dengan jumlah penduduk 8.000 jiwa yang sebagian besar bekerja sebagai petani dan pedagang, kini 20 persen warga desa terlibat dalam pengelolaan desa wisata.

Sistem saham

Menurut Imam, sistem saham menjadi salah satu cara untuk mendapatkan dana dari masyarakat. Namun, saham itu hanya boleh dimiliki warga Desa Panusupan. Investor adalah warga desa dan pemerintah desa. Prinsipnya adalah dari warga, oleh warga, dan kembali untuk warga.

Pemanfaatan pemasukan dari penjualan tiket pengunjung setiap lokasi adalah 25 persen untuk para investor, 35 persen untuk pemeliharaan lokasi wisata, dan 40 persen untuk membayar gaji pegawai.

Bupati Purbalingga Tasdi dalam peresmian obyek wisata Batu Gilang Green Park, Sabtu pertengahan April, mengapresiasi usaha dan kerja sama para warga. Tasdi memerintahkan dinas terkait memperlebar dan memperbaiki akses menuju desa itu.

”Agar pariwisata di Purbalingga semakin berkembang, perlu strategi, yaitu dengan menjalankan sapta pesona. Selain itu, kerja sama antardesa juga diperlukan agar pariwisata di Purbalingga semakin terintegrasi,” ujar Tasdi.  (MEGANDIKA WICAKSONO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com