Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Bakdo Kupat", Simbol Persatuan Dalam Keragaman Masyarakat Jaton

Kompas.com - 03/07/2017, 09:06 WIB
Rosyid A Azhar

Penulis

GORONTALO, KOMPAS.com - Jenang, ketupat, nasi bulu, dan aneka makanan dari daging sudah siap dihidangkan masyarakat Jawa Tondano (Jaton) pada Hari Raya Ketupat (Bakdo Kupat), Minggu (2/7/2017).

Yosonegoro, permukiman pertama masyarakat Jaton di Gorontalo berdiri tahun 1900. Desa ini sudah terlihat sibuk sejak beberapa hari setelah Idul Fitri.

Yosonegoro berada di Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, menghias diri untuk menyambut tetamu sanak saudara dan siapapun yang datang ke rumah mereka.

Selain Yosonegoro, awal abad 20 masyarakat Jaton juga mendirikan permukiman desa di Kaliyoso, Kecamatan Bongomeme dan Desa Reksonegoro di Kecamatan Tibawa. Mereka datang dari Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara secara bergelombang.

Hari ini, hidangan lezat siap saji sudah menanti di dalam rumah warga Jaton untuk dinikmati siapa saja yang mau bersilaturahmi.

(BACA: Filosofi Indah di Balik Sepotong Ketupat)

Rumah khas orang Jaton, rumah panggung dari kayu yang berusia lebih dari 100 tahun bisa disaksikan di setiap sudut desa. Sawah padi hijau yang menghampar dan perbukitan menjadi pemandangan yang eksotis.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, ruas jalan ke arah Yosonegoro akan padat dipenuhi warga yang akan datang ke desa ini. Mereka berasal dari berbagai daerah di Gorontalo. Kemacetan kendaraan di provinsi yang berpenduduk 1,2 juta ini hanya terjadi saat bakdo kupat saja.

Bakdo kupat adalah tradisi leluhur, yang kami warisi dari para mbah (kakek) kami,” kata Abdurrohim Bin Jamangun Mertosono, warga Desa Yosonegoro.

(BACA: Ketupat Berbungkus Janur dan Plastik, Apa Bedanya?)

Abdurrohim adalah pensiunan kepala sekolah yang lahir pada 3 Januari 1933. Ia generasi kedua di desa ini karena ayahnya (Jamangun) berasal dari Tondano, Minahasa yang membuka hutan di daerah ini bersama puluhan orang Jaton lainnya saat mengikuti guru Amal Modjo.

Abdurrohim masih merekam ingatan dengan jelas bakdo kupat pada masa kanak-kanaknya.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perayaan ini dilakukan oleh orang-orang tua Jaton yang telah melaksanakan puasa sunat setelah Idul Fitri, mulai tanggal 2 Syawal hingga sepekan berikutnya.

Usai puasa, mereka membuat aneka ketupat yang dibawa ke masjid untuk dinikmati bersama seluruh warga desa. Dari sinilah bakdo kupat menjadi besar seperti sekarang ini.

“Dulu, lawok (lauk) yang menyertai ketupat adalah sambel goreng yang terbuat dari pepaya teto (dipotong kecil) dan bumbu tumbok (kacang dan rempah),” ujar Abdurrohim Mertosono.

Masyarakat Jaton mengenal 4 macam bentuk anyaman ketupat, panggang, into (jantung), luar dan bawang.

Saat semua hidangan tersaji di masjid, seorang imam akan mempimpin doa keselamatan bagi semua warga dan seluruh bangsa Indonesia. Doa yang selalu dirapalkan oleh anak keturunan Kiyai Modjo dan 63 pengikutnya yang dibuang Belanda di Minahasa, Sulawesi Utara.

Dalam tanah pengasingan, puluhan kombatan Perang Jawa ini menikahi gadis Minahasa yang melahirkan masyarakat Jaton.

Dalam tradisi bakdo kupat, setiap keluarga Jaton selalu menyiapkan ketupat, nasi bulu, jenang, dan aneka masakan daging. Mereka akan menyambut semua tamu yang datang dengan ramah, biasanya yang datang adalah kolega kantor, sekolah atau keluarga jauh.

Sambil berbincang mengenai kehidupan sehari-hari mereka menikmati hidangan lezat ini bersama-sama.

KOMPAS.COM/ROSYID AZHAR Jenang khas Jawa Tondano yang dicampur dengan kacang dan pisang buatan keluarga Abdurrohim Mertosono di Kabupaten Gorontalo. Cita rasanya sangat nikmat dan hanya pada perayaan Bakdo Kupat atau Lebaran Ketupat makanan khas ini disajikan.
Tidak hanya itu, buah tangan untuk tamu sudah disiapkan tuan rumah, jenang yang dibungkus daun woka (Livistona sp) dan nasi bulu atau biasa disebut juga dengan nama nasi jaha (dari asal nasi jahe, karena ada bumbu jahe dalam pengolahannya).

“Bakdo kupat memiliki makna persatuan sebagaimana janur kelapa yang dianyam, ikatannya kokoh dan membentuk ruang yang dapat diisi beras. Tanpa anyaman tidak akan memiliki fungsi ini,” kata Muhammad Kiyai Wonopatih, sesepuh masyarakat dan imam masjid Desa Reksonegoro.

Muhammad Kiyai Wonopatih menambahkan sajian makanan saat bakdo kupat adalah pemersatu sanak saudara yang datang dari jauh dan warga lainnya untuk datang bergembira. Mereka bersilaturahmi, menyambung komunikasi dalam ikatan yang kuat, tidak mudah dipisahkan.

Pada masa lalu, pesan orang tua untuk menjaga persatuan dituturkan saat menyantap hidangan lezat ini. Nasihat ini selalu diulang dari tahun ke tahun. Inilah pesan utama yang selalu hadir dalam bakdo kupat masyarakat Jaton.

“Setiap keluarga atau masyarakat pasti ada masalah, bahkan ada yang silaturahminya terputus. Pada momen bakdo kupat inilah hubungan yang renggang tadi bisa ditautkan kembali. Kita menikmati persatuan dan persaudaraan yang hakiki,” ungkap Muhammad Kiyai Wonopatih.

Biaya dan tenaga yang besar bukanlah halangan bagi warga Jaton untuk melaksanakan bakdo kupat. Mereka sudah menyintai kebiasaan ini sebagai warisan leluhur yang harus diteruskan untuk merawat silaturahmi anak bangsa.

Pengalaman para mbah (kakek) mereka di medan laga Perang Diponegoro (1825-1830) memberikan pelajaran yang berharga. Dengan bersatu keinginan untuk mewujudkan impian bersama dapat dicapai, kehidupan yang lebih baik.

“Saya membuat 300 nasi bulu, sebagian pesanan saudara,” kata Nina Pulukadang yang membakar makanan khas ini di kebun belakang rumahnya.

Sementara itu, Hadijah Baderan alias Mbok Jango, dalam usia tuanya, ia masih gesit mengatur bara api dari sabut kelapa agar tidak menghanguskan nasi bulu. Ia rela kepanasan dan mandi keringat agar nasi bulunya masak dengan sempurna.

Yang unik lainnya adalah sajian jenang pada keluarga Abdurrohim Mertosono, meski sama-sama berwana hitam, namun jenang dari keluarga ini memiliki cita rasa pisang yang khas. Ini tidak lain karena saat masaknya dicampurkan buah pisang dalam adonan jenang.

“Tidak sembarang pisang, salah satunya pisang pagata (kepok). Kalau pisang lain akan menggumpal, tidak menyatu dalam adonan jenang. Sudah pernah dicoba tapi tidak pernah berhasil,” papar Idris Mertosono.

Seiring perjalanan waktu, bakdo kupat tidak hanya acara di masjid semata. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Gorontalo mulai melihat peristiwa budaya ini sebagai aset pengembangan pariwisata.

Melalui Dinas Pariwisata, bakdo kupat diisi dengan berbagai kegiatan menarik. Salah satunya adalah lomba balap roda sapi dan pacuan kuda. Kegiatan ini kemudian melekat dalam setiap perayaan bakdo kupat yang banyak menyedot perhatian warga.

“Kami berupaya melestarikan budaya masyarakat Jawa Tondano agar lebih dikenal masyarakat luas. Lebaran ketupat  adalah kegiatan tahunan yang selalu menyajikan kuliner khas,” kata Resma Kobakoran, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Gorontalo.

Masyarakat Jaton mengajarkan, betapa penting merawat silaturahmi, menautkan kembali persaudaraan agar semakin kokoh. Mereka telah melewati sejarah besar perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaan, meraih kemuliaan hidup dalam harmoni kebhinekaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com