JAKARTA, KOMPAS.com - Saya tersentak ketika melihat dua orang pendaki di jalur pendakian Gunung Gede Pangrango via Cibodas, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Saat itu, saya tengah mendaki Gunung Pangrango bersama kedua rekan saya.
Di depan saya, ada sepasang pendaki yang terengah-engah saat berada di jalur pendakian. Mereka tampak duduk di bebatuan. Namun, tak lama mereka kembali melanjutkan pendakian pada pagi hari itu.
Hal yang mengejutkan adalah seorang pendaki laki-laki tak menggunakan alas kaki alias "nyeker". Sementara, sang perempuan menggunakan sandal. Saya bingung.
"Kok tak pakai sandal, Mas?" tanya saya kepada pendaki itu.
"Sepatu saya dipakai teman saya. Kakinya sakit," jawab pendaki tersebut sambil melangkahkan kaki.
"Loh, gak sakit Mas kakinya?" tanya saya. "Enggak, mas," ujarnya sambil meneruskan pendakian tanpa menoleh.
Saya kembali meneruskan pendakian tanpa berbicara dengannya. Puncak Gunung Pangrango, dengan ketinggian 3.019 meter di atas permukaan laut (mdpl) telah menunggu. Namun selama perjalanan, bayang-bayang perjalanan pendaki tanpa alas kaki tersebut terus mengusik pikiran saya.
"Apa kakinya benar tak sakit? Saya yang menggunakan sepatu saja masih merasa sakit," batin saya.
Perlu diketahui, jalur pendakian Gunung Gede via Cibodas hingga pos Kandang Badak (2.395 mdpl) didominasi oleh medan yang berbatu. Saya bertemu pendaki tersebut di sekitar Pos Panyangcangan Kuda (1.628 mdpl).
Di saat suasana yang makin dingin karena perubahan ketinggian, saya melesat Gunung Pangrango. Tempat favorit aktivis era 1960-an, Soe-Hok Gie, yaitu Lembah Mandalawangi sudah menunggu. Sebuah tempat yang dicintai Soe-Hok Gie bila menilik puisinya dengan judul "Mandalawangi-Pangrango".
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan