FLORES, KOMPAS.com - Menyepi dan intim dengan alam. Hal itulah yang penulis rasakan saat mengunjungi Desa Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu.
Wae Rebo merupakan kampung adat tradisional yang sudah terkenal hingga mancanegara.
Untuk melihat eksotisme Desa Wae Rebo tidaklah mudah. Butuh perjuangan lantaran lokasinya di lembah pegunungan Manggarai.
Wae Rebo berada pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut sehingga dijuluki desa di atas awan.
Saya berkesempatan bermalam di Wae Rebo bersama rombongan Jelajah Sepeda Flores yang digelar Kompas.
BACA: Wae Rebo, Kearifan yang Memesona
Menuju Wae Rebo, rombongan memulai start etape V dari Ruteng pada 16 Agustus 2017. Ruteng adalah wilayah terdekat dari Wae Rebo yang memiliki bandara.
Apabila tidak ada penerbangan menuju Ruteng, bisa juga menggunakan mobil dari Labuan Bajo.
Dari Ruteng, kami gowes hingga tengah hari. Setelah makan siang, perjalanan dilanjutkan naik truk kayu yang sudah dimodifikasi.
Papan-papan kayu dipasang di dalam truk yang dijadikan tempat duduk. Truk semacam ini biasa dipakai untuk transportasi masyarakat setempat.
Di sana, puluhan tukang ojek yang merupakan warga sekitar sudah menunggu kami. Tukang ojek akan mengantarkan tamu ke Pos I Wae Lomba sejauh sekitar 4 KM dengan jalur menanjak. Biaya ojek Rp 25.000.
Pos I merupakan titik terakhir motor bisa melintas. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 7 KM.
BACA: Wae Rebo, Desa Tradisional Terindah di Indonesia
Di sinilah perjuangan selanjutnya dimulai. Pada awal, jalur akan terus mendaki. Tentu hal itu akan memberatkan bagi wisatawan yang tak terbiasa mendaki.
Selama perjalanan harus hati-hati. Jalanan yang dilewati masih berupa tanah dan bebatuan.
Apalagi, di kanan atau kiri jalur adalah jurang. Tak ada pembatas. Perlu ekstra hati-hati ketika hujan karena jalan akan licin.
Semakin menanjak, kabut semakin tebal. Suara burung dan jangkrik terdengar di antara pepohonan.
Udara sangat bersih. Menghirup udara dalam-dalam membuat lega pernafasan. Segar.
Setelah tiga per empat perjalanan, jalur kemudian mendatar, lalu menurun hingga Wae Rebo.
Mendekati kampung, hamparan perkebunan kopi terlihat. Ada beberapa bangunan yang dipakai petani kopi untuk singgah.
Saya butuh waktu hampir dua jam berjalan kaki hingga Wae Rebo. Tiap orang butuh waktu yang berbeda-beda untuk sampai ke desa ini.
Ada yang hanya butuh sekitar satu jam, ada pula yang di atas tiga jam.
BACA: Jangan Mengaku Pernah ke Flores sebelum Mengunjungi Wae Rebo
Sebelum memasuki perkampungan, tamu harus singgah di pos terakhir. Di sana, perwakilan rombongan diminta membunyikan kentongan sebagai tanda tamu tiba.
Dari pos tersebut terlihat jelas tujuh rumah adat berbentuk kerucut.